Saya pengemar wayang, terutama wayang kulit Jawa. Tidak peduli gaya Banyumas, Yogyakarta, Surakarta, atau gaya Jawa Timuran. Semuanya saya suka.
Kegemaran saya terhadap pertunjukan wayang tidak terlepas dari peran ayah saya yang sering mengajak menonton wayang dan meletakkan saya duduk dekat kotak wayang sang Dalang. Saat itu saya masih kelas tiga atau empat sekolah dasar.
Jika pertunjukan wayang dekat dengan rumah, pada tengah malam saya diantar dan diletakkan di dekat kotak sembari menitipkan kepada para 'penabuh' di dekat situ. Pada tengah malam saatnya dalang menggelar adegan Goro-Goro. Keempat punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong keluar menghibur penonton dengan candaannya dan sajian lagu-lagu Gending Jawa.
Setelah agak besar, usia SMP, saya pergi sendiri. Penasaran bagaimana adegan wayang pada sore hingga tengah malam saat penggalan pertunjukan itu yang sering saya saksikan.
Sedikit demi sedikit, akhirnya saya memahami dan mencoba menghapalkan beberapa tokoh protagonis dan antagonis, dari pihak Pandawa dan Kurawa.
Ketika itu, Klenteng Tiong Hoa yang ada di kelurahan saya hampir setiap tahun menggelar pertunjukan wayang kulit. Biasanya pada peringatan 17 Agustus. Selain bulan Agustus, warga yang tergolong orang berada atau yang telanjur nazar 'menanggap' (istilah Jawa untuk menyewa Dalang menggelar pertunjukan wayang) ketika hajatan.Â
Pun, di desa ketika memasuki bulan Muaharam mengadakan acara 'Bersih Desa' dengan menggelar wayang. Dengan demikian, saya memiliki banyak kesempatan untuk menonton secara 'Live' pertunjukan para dalang itu.
Pengetahuan wayang saya makin mantap setelah akrab dengan teman sekolah yang memiliki komik wayang karangan R.A Kosasih. Saya sering main ke rumahnya dan menumpang membaca komik wayang yang ia miliki.Â
Selain itu, pelajaran Bahasa Jawa di sekolah mengajarkan juga cerita-cerita pewayangan, baik Ramayana maupun Mahabharata. Pengetahuan tentang dunia perwayangan pun semakin mantap.
Setelah pergi merantau ke Sumatera dan diam di pedalaman, melalui pesawat radio saya sering mendengarkan siaran wayang melalaui RRI Stasiun Pusat Jakarta.
Lebih-lebih saat ini, para dalang makin sadar media dan teknologi. Mereka sering melakukan streaming, siaran langsung. Sesudahnya siaran itu dapat dinikmati kapan saja.
Sebut saja dalang-dalang viral seperti: Ki Enthus, ki Seno, Ki Manteb Sudharsono, Ki Cahyo Kuntadi, Ki Dwijo Kangko, Ki Syukron Suwondo, dan lain-lain semakin mudah ditonton aksinya tanpa harus mendatangi tempat pertunjukan.
Apakah pertunjukan wayang hanya dimiliki masyarakat jawa di Pulau Jawa? Ternyata tidak. Saya sebagai anggota Paguyuban Republik Ngapak sudah menikmati dua kali pertunjukan wayang ketika merayakan hari ulang tahunnya.Â
Terakhir, pertunjukan  dalam rangka perayaan HUT ke-3 Paguyuban Republik Ngapak. Paguyuban kami menyewa dalang dari Kabupaten Cilacap, Ki Ogi Sabdo Carito. Pertunjukan Wayang Kulit yang dihadiri Bupati Musi Rawas di desa Donorojo, Kecamatan Jayaloka itu bahkan jumlah penontonnya melebihi pertunjukan pada HUT ke-2.
Kedua pertunjukan wayang itu memakan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar dari teman guru bahwa perpisahan di sekolahnya 'nanggap' wayang kulit, tentu saja saya kaget.
"Luar biasa, biaya dari mana mendatangkan dalang untuk perpisahan kelas enam?" gumamku dalam hati.
Ternyata, yang mendalang adalah siswa kelas enam diiringi karawitan yang dimainkan teman-temannya. Berikut foto yang ia bagikan di Grup WA.
Musi Rawas, 10 Juni 2024
Penggemar Wayang Kulit,
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H