Daun yang masih muda saya rebus. Jika air rebusan menjadi kehijauan dan daun dipijit terasa lunak tanda daun mangkokan itu telah matang.
Lalu, saya pergi ke warung sebelah. Saya membeli sepotong kecil kelapa yang telah dikupas. Kelapa itu saya bersihkan, lalu saya panggang pada bara api. Saya menumpang memanggang di tungku kayu ibu kos. Kebetulan ibu kos adalah pengusaha tempe kecil-kecilan. Saya kerap membeli tempe kepada ibu kos untuk digoreng atau dibakar sebagai lauk makan.
Setelah kelapa mentah itu berbau harum, kemudian saya ambil dan dinginkan lalu diparut. Saya menyiapkan bumbu berupa cabai, bawang putih, garam, gula merah, terasi bakar, dan kencur. Jika kencur tidak ada dan segan meminta kepada ibu kos, bumbu kuluban yang saya buat tidak menggunakan kencur.Â
Bumbu itu saya giling mentah-mentah menjadi sambal berwarna merah kecoklatan karena ada gula merahnya. Lalu, kelapa matang hasil memanggang saya parut di atas sambal itu dan dicampur merata. Setelah itu rebusan daun makokan yang ditiriskan saya campurkan dengan sambal kelapa itu. Jadilah makanan yang kami menyebutnya dengan kuluban atau keluban.
Meskipun nasinya dingin karena bertanak ketika Ashar, kuluban daun mangkokan masih terasa hangat. Berbuka puasa pun terasa nikmat.Â
Awalnya, malu-malu karena laki-laki memetik daun tanaman mangkokan yang menjadi pagar hidup. Namun, karena terbiasa. menu kuluban daun mangkokan kadang malah berbagi dengan teman satu kos. Wuih, sedapnya!
Musi Rawas, 22 Maret 2024
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H