Tiga kata ini harus segera saya simpan. Sekapur Sirih, Prakata, dan Kata Pengantar. Konteksnya adalah, seorang teman menanyakan perbedaan sekapur sirih dan kata pengantar pada sebuah buku yang hendak ia tulis. Pertanyaan itu dilontarkan pada kolom chat aplikasi WhatsApp.
Izin bertanya, saya masih agak bingung dan galau selama ini. Apakah berbeda antara sekapur sirih dan kata pengantar? Jika berbeda, bedanya di mana? #mohon.pencerahan
Itulah kalimat tanya bernada memohon pencerahan.Â
Lalu bermunculan jawaban. Di antaranya:
Ini sesuai apa yg saya lokoni. Sekapur sirih dari penulis. Kata pengantar bukan dari penulis. Maaf jika tdk benar.
Lalu, seorang teman yang sudah menerbitkan beberapa buku pun memberi komentar.
Misalnya, Pak Makhrus menulis artikel. Boleh memberi sekapur sirih/prakata pada karya sendiri. Sedangkan pengantar/kata pengantar ditulis oleh orang lain yang diminta oleh pak Makhrus. Pengantar ini diajukan pada ybs jika naskah sudah dalam keadaan selesai tapi belum dikirim ke penerbit. Â Untuk dibaca, tentunya. Dg demikian, yg membuat pengantar tahu apa yang akan diantarkan dari naskah tersebut. Dengan demikian, dari prakata dan pengantar pembaca bisa tahu secara garis besar isi dan makna buku tersebut. Tetapi baik prakata/sekapur sirih/pengantar adalah tidak wajib ada pada sebuah buku. Khusus buku antologi Kopdar 2 RVL Jogjakarta, Master sdh menyampaikan di grup sebelah bahwa beliau yang menulis pengantarnya. Semoga bisa mencerahkan. Jika ada kesalahan dan atau kekurangan, insyaAllah akan dijelaskan langsung oleh Master.
Nah, ketahuan siapa yang bertanya, bukan? Lalu, siapa yang dimaksud dengan Master tersebut?
Seperti disebutkan dalam komentar di atas, sang Master yang disebut adalah pemberi kata pengantar buku antologi Kopdar 2 RVL. Beliau adalah Master Emcho, Ketua sekaligus founder RVL (Rumah Virus Literasi).Â
Sepuluh menit kemudian, sang Master pun memberikan penjelasannya.
Sekapur sirih itu istirah [sic!] indah dari prakata (preface). Ia ditulis oleh penulis buku mandiri atau editor buku buku antologi. Untuk karya fiksi, ia tidaklah selalu penting adanya. Namun, untuk karya nonfiksi, ia wajib ada sebagai "pintu" pertama bagi isi bukunya.
Sementara itu, kata pengantar (forward) ditulis oleh orang lain, bukan penulis buku, yg tujuannya utk mengantarkan penulis dan isi buku kepada pembaca. Utk buku fiksi dan nonfiksi, kata pengantar tidak wajib adanya.
Dalam struktur buku, dari luar ke dalam: kover depan, sambutan (jika ada), kata pengantar (jika ada), prakata, daftar isi, isi buku, referensi, glosarium, indeks, biodata penulis.
Nah, dalam kontek tulisan (buku) sekapur sirih sepadan dengan prakata. Sekapur sirih ditulis oleh penulis atau editor buku antologi, sedangkan kata pengantar ditulis oleh seseorang yang dianggap kompeten untuk mengantarkan penulis dan isi bukunya kepada para pembacanya.
Akhirnya, malu bertanya sesat menjawab. Karena belum mendapat jawaban yang pasti, jika ditanya dapat menyesatkan si penanya.
Apabila berani bertanya dan mendapat jawaban yang benar maka jika ditanya tidak akan memberikan jawaban yang menyesatkan penanya. Farasa malu bertanya sesat menjawab pernah hadir pada sebuah majalah remaja tempo dulu.
Musi Rawas, 6 September 2023
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H