Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bayang Kegelapan yang Hilang

30 Maret 2023   01:18 Diperbarui: 6 April 2023   21:00 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam yang Gelap (Dok. Pribadi by Canva)

Waktu Ashar berlalu. Awan kelabu berarak membayangi mentari sehingga meredupkan cahayanya. Guru Eko bersyukur, terik panas yang menyengat dan menggerahkan berangsur sejuk. 

Tirai bambu di sebelah kiri warungnya ia turunkan. Jika turun hujan, derainya tidak membasahi bangku panjang dan meja yang ada di depan warungnya.

"Kayaknya bakal hujan deras," gumam Guru Eko.

Seakan doa yang terkabul, belum lama Guru Eko bergumam, air dari langit turun seperti dicurahkan. Ia pun tergopoh-gopoh segera menyelesaikan pekerjaan membantu sang istri mengangkat baju dan pakaian yang belum sempurna keringnya. Satu demi satu pakaian itu ia tarik dari kawat alumunium yang membentang pada tiang jemuran samping rumahnya.

"Bu, mana keranjang pakaian. Sudah kupilah-pilah yang kering dengan setengah kering!" teriak Guru Eko kepada sang istri.

"Iya, Yah. Terima kasih, ya. Ayah baik sekali," ucap bu Rumi.

"Gombal! Buruan, hujan makin deras, nih!" kata Guru Eko menanggapi.

"Nah, boleh sekalian masukin pakaian kering ke sini dan yang setengah kering di sini?" pinta istrinya sambil menyodorkan dua buah keranjang plastik berukuran besar.

Tanpa membantah, Guru Eko segera membantu memasukkan pakaian seperti permintaan sang istri.

Begitulah kedua orang paruh baya yang sudah berumah tangga lebih dari dua puluh sembilan tahun itu bahu membahu dalam kondisi darurat.

Pertengkaran kadang mewarnai kehidupan mereka. Namun, gurauan kecil, bahkan kemesraan lebih banyak menghiasi perjalanan rumah tangga mereka. 

Kebahagiaan mereka semakin lengkap ketika satu demi satu buah hati mereka lahir. Kini, empat orang anak yang sudah beranjak dewasa menjadi tumpuan harapan masa depan.

Menjelang pukul 18.00, kedua suami istri itu sibuk dengan urusan masing-masing. Sang suami menutup warung kecil mereka, sementara sang istri sibuk menyiapkan takjil untuk menyegerakan berbuka puasa.

Nasi putih ditemani ikan nila goreng disertai sambal kecap disiapkan untuk santap buka puasa sang bujang. Ikan nila yang dimasak dengan bumbu sambal goreng dicampur rempah berkuah santan menjadi menu pesanan sang ayah. 

Sementara si ibu karena ia tidak berpuasa cukup merebus kacang panjang dengan bumbu urap. Porsinya tidak banyak. Dua cangkir jus 'semangka inul' terhidang sebagai minuman penutup.

Tanda waktu berbuka berbunyi. Sirine di masjid meraung memberitahu warga bahwa waktu berbuka tiba. 

Namun, baru separuh jalan sirine berbunyi, tiba-tiba lampu padam. Bunyi sirine pun ikut berhenti. Sementara, hujan turun semakin deras, belum ada tanda-tanda segera reda.

Kami menyalakan lampu emergency kecil. Cahayanya lumayan. Cukup menerangi sederet hidangan di meja kecil mereka. Untuk menambah terang ruangan, tiap-tiap anggota keluarga menyalakan lampu hape masing-masing. Untunglah daya baterai mereka masih ada.

Setelah membatalkan puasa, Guru Eko segera mengambil wudu. Ia salat Maghrib di rumah, sendirian, karena sang istri sedang berhalangan. 

Sementara si bujang masih asyik menyantap nasi dengan lauk kegemarannya. Guru Eko ingin ke masjid. Akan tetapi, hujan deras dan angin kencang cukup dijadikan alasan adanya halangan.

Selesai salat, ia menuju meja makan. Untuk memuaskan rasa yang telah ditahannya sejak terbit fajar, lelaki paruh baya itu mengambil nasi dan menyiramnya dengan kuah santan ditambah lauk seekor nila yang berada di dalam gulai. 

Satu ekor cukuplah untuk menghabiskan nasi yang banyaknya hanya satu centong. Perutnya ingin berbagi tempat dengan jus 'semangka inul' yang yang sudah dibuat oleh si anak bujang. Oleh karena itu, Guru Eko tidak berani makan dengan nasi yang banyak.

Hingga selesai waktu Isya, lampu belum juga menyala.

"Dulur, sampai kapan pemadaman ini?" tulis Guru Eko di kolom chat GWA-nya.

"Pemadaman sekitar tiga atau bahkan lima jam," komentar rekan grup lainnya.

Lampu Padam (Dok. Pribadi - Canva.com)
Lampu Padam (Dok. Pribadi - Canva.com)

Duh, puasa hari keenam diwarnai insiden pemadaman. Rumah gelap. Lampu emergency kecil yang dinyalakan mulai redup karena dayanya makin berkurang. 

Demikian pula daya baterai hape. Hape si bujang sudah padam. Ia tidak akan pernah mengecas hapenya jika belum sepuluh atau lima persen lagi. Pantas saja baru sebentar daya baterai sudah habis.

Hape si ibu menyusul. Layar hape menghitam tanpa mampu dinyalakan kembali. Daya baterainya benar-benar habis. Tinggal baterai sang ayah yang masih gagah. Sinarnya masih mampu menerangi ruangan hingga si ibu membereskan meja makan dan beranjak ke peraduan.

Jarum panjang jam dinding berada di angka tiga, sementara jarum pendek melewati angka sepuluh. Pukul 22.15, lampu belum menyala.

"Ya, Allah ... alangkah lama lampu ini padam, ya!" Guru Eko bicara sendiri karena kedua anggota keluarganya sudah berangkat ke alam mimpi.

Semenjak minyak tanah langka, tidak ada lagi lentera atau lampu minyak kecil sekadar menerangi ruangan seadanya. 

Semenjak menggunakan gas untuk memasak, Guru Eko dan keluarga semakin takut menyalakan lilin. Jadi, tidak ada satu batang lilin pun di rumah keluarga guru itu.

Derai gerimis mulai terdengar pertanda hujan mereda. Namun, itu tidak lama. Sesudahnya hujan kembali turun dengan deras. Perlahan, sang kepala rumah tangga itu berjalan menuju peraduan di kamar depan. Kamar yang hanya terisi jika anak-anak mereka pulang.

Untuk membunuh sepi, sisa baterai yang ada ia gunakan untuk berkirim pesan dan berbalas WA. Itu pun tidak selancar jika lampu PLN terang benderang. Jika lampu 'mati', sinyal seluler penuh namun data internet sulit terkirim.

"Ah, tidur saja. Siapa tahu tengah malam nanti lampu hidup kembali. Dalam kegelapan semoga mata lekas terpejam," gumam guru bernama Eko itu.

Matanya pun semakin terasa berat. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba terdengar seperti suara ketukan. Beberapa kali. Ada suara berat mengiring ketukan mengucapkan sepotong salam.

"Assalaamu'alaikum!"

Malam yang Gelap (Dok. Pribadi by Canva)
Malam yang Gelap (Dok. Pribadi by Canva)

"Tok tok tok ..., assalaamualaikum!"

Perlahan Guru Eko turun dari ranjang. Setelah kembali terdengar suara yang membuat hatinya deg-degan, ia buka korden jendela ruang tamu dan menyorotkan lampu hape keluar.

"Aku Hendra, Mas," aku sang pemilik suara.

Segera pemilik rumah mengenali suara yang tidak lain adik temannya yang sudah dianggap seperti saudara sendiri.

"O, Hendra, masuk! Dari mana malam-malam? Ada perlu apa?" sapa ramah sang tuan rumah.

Setelah sang tamu duduk, ia pun membuka suara.

"Ini, Mas ... sebelumnya minta maaf. Uang yang Hen pinjam awal bulan ini akan Hen kembalikan."

Mendengar kata-kata sang tamu, hati si tuan rumah lega. Terbayang printer baru untuk menggantikan printer lama yang masih diperbaiki. Jika uang yang dipinjam sit amu dikembalikan.

"Janji Hendra, awal bulan April mengembalikan. Namun, aku sudah berusaha ke mana-mana, Mas, belum dapat juga. Jadi, mohon kepada Mas, Hendra minta tempo. Jika sudah ada, akan Hendra kembalikan secepatnya," jelas si tamu.

Guru Eko terdiam. Jemari kedua tangannya ia tautkan. Kedua ibu jarinya dimainkan.

"Hhhhh ...," helaan napas panjang sang tuan rumah mengiringi hilangnya bayang printer di kegelapan ruang tamunya.

PakDSus
Kisah Ramadan (6)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun