Satu ekor cukuplah untuk menghabiskan nasi yang banyaknya hanya satu centong. Perutnya ingin berbagi tempat dengan jus 'semangka inul' yang yang sudah dibuat oleh si anak bujang. Oleh karena itu, Guru Eko tidak berani makan dengan nasi yang banyak.
Hingga selesai waktu Isya, lampu belum juga menyala.
"Dulur, sampai kapan pemadaman ini?" tulis Guru Eko di kolom chat GWA-nya.
"Pemadaman sekitar tiga atau bahkan lima jam," komentar rekan grup lainnya.
Duh, puasa hari keenam diwarnai insiden pemadaman. Rumah gelap. Lampu emergency kecil yang dinyalakan mulai redup karena dayanya makin berkurang.Â
Demikian pula daya baterai hape. Hape si bujang sudah padam. Ia tidak akan pernah mengecas hapenya jika belum sepuluh atau lima persen lagi. Pantas saja baru sebentar daya baterai sudah habis.
Hape si ibu menyusul. Layar hape menghitam tanpa mampu dinyalakan kembali. Daya baterainya benar-benar habis. Tinggal baterai sang ayah yang masih gagah. Sinarnya masih mampu menerangi ruangan hingga si ibu membereskan meja makan dan beranjak ke peraduan.
Jarum panjang jam dinding berada di angka tiga, sementara jarum pendek melewati angka sepuluh. Pukul 22.15, lampu belum menyala.
"Ya, Allah ... alangkah lama lampu ini padam, ya!" Guru Eko bicara sendiri karena kedua anggota keluarganya sudah berangkat ke alam mimpi.
Semenjak minyak tanah langka, tidak ada lagi lentera atau lampu minyak kecil sekadar menerangi ruangan seadanya.Â