Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deportasi Saja!

22 Maret 2023   01:14 Diperbarui: 22 Maret 2023   01:16 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Orang Asing" (Dokpri desing by Canva)

Setelah pulang mengajar, Pak Guru Eko biasanya membuka ruang sebelah rumahnya. Ruang kecil bekas garasi itu dijadikan warung kecil. Warung kecil untuk jualan pulsa, rental komputer, benda pos, alat-alat tulis, dan jajanan anak-anak. Tetangga menyebutnya Warung Pak Guru. Guru paruh baya itu, tidak mengangkat pegawai untuk melayani konsumennya. Makanya warung itu hanya buka jika mereka (Guru Eko dan istrinya) pulang kerja.

Jika sepi konsumen, laptop yang biasa ia rentalkan atau digunakan untuk membantu anak-anak tetangga mengerjakan tugas sekolah dipakainya untuk mengetik. Guru Eko, demikian orang menyebut, senang menulis. Ia memiliki blog pribadi, sesekali menulis di Kompasiana, atau sekedar membuat coretan dan dikirimkannya ke grup-grup literasi yang ia miliki. 

Menjelang puasa Ramadan, sekolah Guru Eko meliburkan siswanya beberapa hari. Inilah kesempatan membuka warungnya sejak pagi hari. Di teras warungnya ia sediakan bangku panjang. Bangku itu terbuat dari besi pipa persegi yang dicat hitam. Juga meja panjang dari kayu sungkai yang dipelitur indah. Kedua pasangan mebelair itu cukup nyaman menjadi tempat tongkrongan. Kawan-kawan sebaya Guru Eko yang kebetulan atau sengaja bertandang acap kali menghabiskan sore di depan warung kecil itu. Kadang mereka mengobrol ditemani kopi panas atau teh hangat. Sesekali Bu Eko menyajikan gorengan atau rebusan pisang atau ubi. 

"Libur, Pak Guru," sapa Mang Darwis. 

"Iya, Mang. Lancar kerjanya? Tumben bisa main agak siang?" balas Guru Eko.

"Alhamdulillaah, apa kabar? Berapa hari anak-anak libur? Enak dong bisa buka dari pagi," celoteh Mang Darwis.

"Yah, begitulah. Biasa, menjelang puasa anak-anak diliburkan beberapa hari. Kebetulan hari ini libur Hari Raya Nyepi, jadi nampak lebih panjang liburnya dari biasanya. Ada isu apa, nih?" tanya Guru Eko sambil menyambut dua cangkir teh yang disodorkan istrinya.

"Ayo minum, sayangnya nggak ada temennya!" ajak Guru Eko sambil senyum.

Kedua orang itu kadang mengobrolkan isu-isu terkini yang berseliweran di media sosial. Kedua orang paruh baya itu lumayan melek teknologi dan literasi digitalnya.

"Yang lagi ramai nih, kelakuan para turis asing di Bali, Pak Guru," cerita Mang Darwis.

"Kelakuan yang mana, ya?" tanya Guru Eko memancing Mang Darwis lebih banyak cerita.

"Itu, yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Lalu cekcok dengan Kasatlantas. Kabarnya mengeluarkan kata-kata yang nggak pantas, tuh!" sahut Mang Darwis dengan nada geram.

"Enaknya diapain ya, si turis asing itu?" kata Guru Eko setelah menyeruput teh yang mulai mendingin.

"Kalau saya, mintanya aparat bertindak tegas. Tegaslah! Ini negara hukum, ada aturan. Seenak udelnya saja!" Nada Mang Darwis mulai meninggi.

"Minum dulu, Mang!" Guru Eko menyuruh Mang Darwis minum.

"Nih buka detik dot kom!" kata mang Darwis sambil menyodorkan gawainya, "Polda Bali menindak 408 warga negara asing (WNA) yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Jumlah itu berasal dari razia yang dilakukan polisi selama periode 4-16 Maret 2023."

"Ya, ampun, Mang. Empat ratus delapan dibagi dua belas ... eh ... tiga belas hari, ya. Setiap hari ada tiga puluh satu kasus, Mang!" tukas Guru Eko.

"Iya, Pak. Kalau aku sih senang jika mereka melanggar di luar batas toleransi, lalu menghina atau mengeluarkan kata-kata tidak pantas ya, dihukum. Dideportasi saja. Apalagi yang datang ke sini pakai visa turis tetapi mencari nafkah hingga izin tinggalnya melebihi yang seharusnya, huh!" papar Mang Darwis semakin emosi.

"Gitu ya, Mang. Tapi, motor yang dipakai si bule itu barangkali menyewa kepada masyarakat. Nah, masyarakat 'kan mendapat ...." 

"Lah, jika dia malah ngelunjak?" Belum selesai Guru Eko bicara mang Darwis menyahut dengan ungkapan kekesalan.

Kedua lelaki paruh baya itu semakin asyik mengobrol. Teh di gelas masing-masing pun tinggal seperempatnya. Namun, belum ada tanda-tanda mereka menyudahi perbincangan. Kebetulan juga, konsumen Warung Pak Guru bisa dilayani Bu Eko.

"Apa, Bang?" tanya Mang Darwis kepada seorang anak laki-laki yang tiba-tiba datang menghampiri dengan naik sepeda. Tanpa turun dari sepedanya, si anak pun berkata.

"Nek, disuruh Nek No balik!" 1)

Rupanya si Rehan, cucu Mang Darwis. Ia disuruh nenek betino-nya pulang. 2)

"Pulanglah, Mang. Awas, nanti Mamang kena deportasi bibi ke dusun, ha ha ha ...," kata Guru Eko sambil tertawa.

Musi Rawas, 22 Maret 2023
PakDSus

1) dan 2) 
Nek = panggilan untuk nenek atau kakek. 
Nek No = nenek betino (nenek perempuan), Nek Nang (Nenek Lanang) = kakek

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun