Cepek dulu, kata Pak Ogah
Lelaki pengangguran paruh bayaÂ
Bekerja sekadar apa yang diterima
Uang "seratus rupiah" menjadi ukuran
Setiap pekerjaan
Lain lagi Raden Soerjadi
Lelaki berharta, pengagung keturunan
Darah priyayi, yang
selalu ingin dihormati
Siapa menghadap tanpa menghormat
Alamat bakal kena damprat
Priyayi zaman maju
Terjebak romantisme masa lalu
"Ingin kau dihormati, hormati aku terlebih dahulu."
Lalu kuingat anak muda
Berbaju merahÂ
berselempang sarung, berkopiah
Lelaki muda cerdas, pintar di sekolah, rajin di rumah
Pemuda desa yang sempurna
Berakhlak baik, berbudi mulia
Sayang sang sutradara
Ia tidak beranjak dewasa
Tetap menjadi anak desa bersahaja
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Meskipun masa terus berubah
Zaman terus berganti
Sang pemirsa menimang cucu
Si Unyil tetap saja kecil
Malam ini, langit hitam bertabur bintang
Wajah boneka mereka membayang
Ingatan berkelana ke masa lalu
Karya gemilang yang kini usang
Namun, Pak Ogah tak pernah hilang
Cepek dulu makin berbilang
Quite Quitting kata orang pintar
Bekerja seperlunya sesuai kadar
Cerita Pak Raden yang gila hormatÂ
Tak pernah tamat hingga kiamat
Antikritik, antikoreksi,
Merasa benar, menang sendiri
Si Unyil sang protagonis
Pun membuatku menangis
Mengapa tak ada cerita dia dewasa, atau
sekadar bersekolah hingga SMA
Pak Ogah, Pak Raden, dan si Unyil
Hanya tontonan kami di waktu kecil
Namun fenomena tentangnyaÂ
Terbaca hingga aku,
Tua.
Bumi Siliwangi, 26 September 2022
PakDSus
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI