Belajar Bahasa di Luar Kelas
Belajar bahasa sudah kita lakukan sejak duduk di kelas satu sekolah dasar. Dari kelas satu sekolah dasar hingga kelas dua belas, kita belajar bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa internasional. Bahasa Indonesia dipelajari sebagai mata pelajaran wajib. Bahasa daerah diajarkan pada daerah tertentu, seperti Sunda, Jawa, dan Sumatera. Bahasa asing atau bahasa internasional seperti bahasa Inggris, Mandarin, Perancis, dan Jerman dipelajari secara formal mulai sekolah menengah pertama.
Khusus pelajaran bahasa Indonesia, saya sering mendengar cibiran. Ah, bahasa sendiri aja mesti dipelajari. Toh, tiap hari kita pakai.
Mendengar kalimat bernada cibiran seperti itu kuping saya panas. Sudah mempelajari sejak masih kanak-kanak pun hingga usia dewasa menjelang pensiun ini, kalimat yang saya buat kadang masih acak-acakan. Acak-acakan pada penulisan kata, maupun penggunaan pungtuasi.
Jika netizen berkomentar, Lo aja yang bebal kali. Tidak kuladeni. Sebab, yang berkomentar belum tentu juga bisa. Ha ha ha ....
Di satu sisi, bahasa Indonesia dicibir perihal memelajarinya, pada sisi lain kadang menjadi ladang unjuk kebolehan bagi yang menguasainya. Hal ini karena ada bentuk-bentuk unik yang berbeda bila dibandingkan dengan bahasa asing, Inggris, misalnya.
Contoh ringan misalnya, penggunaan di sebagai awalan dan di sebagai kata depan. Hal sederhana ini sering menjadi bahan tulisan. Sebab, penulisan kata "di" pada kedua fungsi tersebut memang berbeda. Anehnya, seringnya dijadikan bahan tulisan tidak berbanding lurus dengan kepatuhan terhadap penggunaan keduanya.
Ini aneh. Jika sudah menjadi bahan tulisan, misalnya di Kompasiana seperti ini: https://www.kompasiana.com/yantiamb/631a823f4addee26d53ce6b2/penulisan-di-sebagai-prefiks-dan-di-sebagai-preposisi pengetahuan itu diterapkan dalam tulisan. Termasuk digunakan pada penulisan puisi.
Dia:
"Pak De, ini puisi. Bentuknya lebih bebas daripada prosa. Jadi, suka-suka saya lah menulis "di" dirangkai atau dipisah."
Saya:
"Halo ... apakah berpuisi itu bukan berbahasa?"
Dia:
"Berbahasa, dong!"
Saya:
"Makanya, walaupun berpuisi ketika menulis di senja hari, kata "di" dipisah dong dari kata "senja".
Dia:
"Kenapa? Aku ingin melukiskan bahwa pada waktu senja adalah waktu yang dirindukan sebagian orang. Jadi, saya rangkai saja dengan kata senja."
Saya:
"Nah, itu dia. Mengapa tidak kamu pakai kata "pada" saja untuk menunjukkan waktu senja? Kata "di" silakan kamu gunakan untuk menunjukkan tempat. Di mana kau menikmati senja itu?
Dia:
"Maksudnya ...?"
Saya:
"Maksud saya, kau gambarkan saja begini."
Pada senja temaram
Di balik bebatuan, di bukit belakang rumah
Kulukis kembali wajahmu
Dia:
"Kalau masih pakai kata "di" bagaimana?"
Saya:
"Kata depan pada searti dengan 'di'. Kata depan 'pada' diiikuti kata benda, kata ganti orang, atau keterangan waktu. Jika lebih suka menggunakan di, misalnya di senja petang, penulisannya dipisah dong dengan kata "senja".
Dia:
"Kata siapa?"
Saya:
(Krik ... krik ... krik ...)
Musi Rawas, 13 September 2022
Salam dan bahagia.
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H