Setiap kali musimn durian, ingatanku selalu melayang ke masa lalu, tahun 1993 hingga 2006. Kala itu, aku masih menjadi guru di daerah pelosok. Orang mengatakan pedalaman. Kami tinggal di tepi Sungai Rawas, sungai besar yang bermuara di Sungai Musi.Â
Nama desa tempat tinggalku pada saat itu adalah Batu Kucing, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas (sekarang Musi Rawas Utara). Transportasi satu-satunya pada saat itu adalah kendaraan sungai: sekoci/speedboat, perahu getek, dan sampan/biduk.Â
Mengapa setiap musim durian ingatanku melayang ke masa lalu? Tidak lain adalah 'ritual' tahunan anak-anak. Anak-anak bergantian memohon izin tidak masuk sekolah.Â
Sendiri atau bersama orang tua mereka meminta izin untuk tidak masuk sekolah karena akan "ngadang dian". Ngadang dian, atau terjemahan bebasnya menghadang durian adalah kegiatan menunggu durian jatuh di kebun durian milik keluarga. Buah durian yang lebat pada musimnya, ditunggui bergantian antarkeluarga keturunan si penanam durian.Â
Aku tidak bisa menahan mereka untuk tetap bersekolah. Tenaganya diperlukan untuk membantu orang tuanya mengumpulkan durian-durian masak yang berjatuhan. Selain itu, mereka menjadi teman bermalam orang tuanya di pondok kebun yang jauh dari perkampungan.
Rata-rata, mereka tidak masuk sekolah selama dua hari. Pada hari ketiga, mereka masuk sekolah. Sore harinya, sang orang tua mengantar durian. Katanya, berbagi rezeki. Durian hutan besar-besar. Durian yang diberikan kepadaku pun durian yang besar. Kadang satu buah. Kadang dua buah durian diantar anak-anak ke rumah.Â
Jika panen tiba, kami guru pendatang ikut panen tanpa membeli atau bersusah payah menunggu durian runtuh di kebun tengah hutan. Pernah sekali diajak nunggui durian di kebuh di tengah hutan. Aku tidak tahan. Nyamuk di hutan sangat banyak Lagipula jika bukan malam libur atau malam Minggu keesokan harinya pasti mengantuk di sekolah.
Tidak Doyan Durian Tapi Doyan Ini
Sayangnya, istriku tidak doyan durian. Aku pun hanya tahan memakan paling banyak tiga biji durian atau satu juring saja. Jika lebih dari satu juring biasanya durian itu aku masak menjadi bubur atau untuk campuran kopi panas.Â
Durian yang menumpuk di pojok dapur, jumlahnya puluhan butir. Semakin hari semakin matang. Baunya menyengat. Sebagian kulitnya pun mulai membuka. Jika kulit durian mulai merekah, pertanda buah di dalamnya tidak enak lagi dimakan karena udara sudah masuk ke dalam.
Kakak angkat lalu mengajari kami membuat "jeruk". Jeruk adalah istilah dusun untuk durian yang difermentasi. Nama lain dari jeruk adalah tempoyak. Tempoyak adalah makanan khas bangsa Melayu di Sumatera. Tempotak banyak ditemui di Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
"Kupaslah durian, Hen! Kerok isinya, pisahkan dari biji. Masukkan ke dalam toples. Lalu, taburkan sedikit garam. Jangan lupa ditutup rapat. Tunggulah tiga atau empat hari. Tempoyak kamu sudah bisa digunakan." Begitu ayuk angkat mengajari istri saya membuat tempoyak. Hampir empat puluh buah durian kami belah dan isinya kami masukkan ke dalam toples bekas wadah permen.Â
Hari kelima, durian dalam toples kami buka. Hmm ... baunya sangat menyengat. Ada aroma masam di sana.Â
"Bagaimana cara masaknya, Yuk?" tanya istri kepada Ayuk, panggilan saya kepada kakak angkat perempuan.
"Naiklah, kito masak samo-samo!" ajak Ayuk memasak bersama di dapur di rumah panggungnya. O ya, kami tinggal di kolong rumah panggung. Tiang rumah diberi dinding dan dibuat geladak sebagai lantai rumah.
Aku ikut naik ke rumah panggung. Kami belajar memasak gulai tempoyak. Ternyata bumbu untuk membuat gulai tempoyak tidak rumit. Giling cabai, serai atau sereh, sepotong kunyit. Masukkan ke dalam air mendidih di wajan. Setelah mendidih kembali, masukkan tempoyak.Â
Setelah panas, masukkan potongan-potongan ikan. Tunggu beberapa menit hingga ikan matang. Gulai tempoyak tidak menggunakan bawang merah maupun putih. Jangan lupa garam dan gula merah. Setelah itu angkat dan matikan api.
Gulai tempoyak hasil memasak di rumah Ayuk kami bawa ke rumah bawah. Hari itu, hari pertama makan dengan lauk ikan yang dimasak dengan bumbu tempoyak.
Ragu-ragu kami memakannya. Apalagi istri yang tidak doyan durian. Ia pun mencicip sedikit kuah tempoyak yang pekat. Rasanya manis asam.
"Hmm ... sedap, Mas," katanya.
Ia pun menyiram nasi dengan kuah dan ikan dalam gulai. Nyam, ... aku lihat dia lahab sekali makan.
"Doyan, Dek?" tanyaku.
Istriku hanya mengangguk dan aku lihat nasi di piringnya hampir habis.
Sejak saat itu, kami doyan tempoyak, namun tetap saja istriku tidak doyan durian. Anda, pernah mencoba gulai tempoyak?
Salam dan bahagia!
PakDSus
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H