Panas terik matahari di lapangan membuatku haus. Kerongkongan terasa kering. Untuk melepas dahaga, aku mendekati penjual es tebu.Â
"Es, Pak?" tanya Kang Penjual.
Aku menganggukkan kepala, mengiyakan.
Mesin pemutar alat peras tebu pun dinyalakan. Bunyinya bising. Namun, kebisingan mesin itulah yang membuat batang tebu telanjang, maksudnya yang sudah dikupas dibelah dua, keluar sarinya. Tebu telanjang dihimpitkan di antara dua silinder besi anti karat yang berputar.
"Kres ...," bunyi batang terimpit besi silinder. Lalu, cur ... air tebu mengucur. Sang penjual mengulang kembali hingga tebu mengering dan kandungan airnya habis.
"Silakan, Pak!" kata Kang Penjual dengan ramah.
Es sari tebu pun kuteguk. Segar. Kerongkongan terasa basah. Dahaga pun sedikit terobati. Sambil meminum es sari tebu, si penjual membuang batang tebu yang sudah gepeng dan kering pada onggokan di samping gerobak. Benar-benar habis manis, sepah dibuang.
Tidak seperti minum kopi hangat, minum es kubuat lambat-lambat. Seseruput demi seruput. Lalu, aku ambil hape dan melihat-lihat linimasa. Siapa tahu ada kabar baru, baik, dan menyenangkan.Â
Sedang asyik membuka laman internet di hape, tiba-tiba terdengar jeritan perempuan. Kami yang sedang menikmati es sari tebu sontak mencari sumber suara.
Tidak berapa lama, orang-orang pun berlarian. Aku pun ikut berlari. Es sari tebu yang tinggal separuh kutinggalkan.