Dinda keluar dari arah dapur. "Minum dulu, Nes!" kata Dinda kepada sahabatnya itu. Segelas air putih yang disodorkan Dinda habis diteguknya.
"Nah, terasa segar bukan?" komentar Dinda. Ines pun mengangguk. Gelas kosong bekas minum ia letakkan di meja.
"Bagaimana, Din, apakah kamu sudah siap?" tanya Ines.
"Belum, ibuku lagi beli cincin kacu pramuka. Punyaku hilang. Tuh, ibu sudah pulang," jawab Dinda.
Kedua anak menoleh ke halaman rumah. Dengan mengendarai sepeda motor, ibu Dinda memasuki halaman rumah. Setelah sepeda ia standarkan, ibu Dinda pun masuk rumah.
"E, ... ada Ines. Sudah lama, Ines?" tanya ibu Dinda.
Ines pun segera menyambut dan menyalami orang tua Dinda yang biasa ia panggil Bude.
"Baru kok, Bude," jawab Ines sambil mencium telapak tangan ibu Dinda.
"Badanmu sangat dingin, Ines. Apakah kamu sakit?" tanya ibu Dinda. Naluri keibuannya menangkap hal yang tidak beres.
"Ines belum makan? Keringatmu dingin dan tanganmu terasa bergetar. Ines belum makan?" tanya ibu Dinda.
"Sudah kok, Bude," jawab Ines berbohong. Ia malu jika mengakui bahwa dirinya belum makan. Ia tidak menghiraukan pesan ibunya karena ia diliputi rasa gembira. Tetapi, perut dan badannya tidak bisa berbohong.