Sebenarnya saya suka melihat rambut panjangnya, anak gadisku kedua. Menurutku, perempuan memang lebih anggun dengan rambut yang terurai. Kata orang, rambut bagi wanita adalah mahkota. Namun apa daya, aku hanya mampu menganggapnya anggun tetapi tidak mampu menahannya untuk tidak memotongnya.
"Ayah, potong rambut Anis!" pintanya pagi ini.
Pada hari Minggu setelah membantu beres-beres rumah yang tidak pernah beres, aku iyakan permintaannya. Sikapnya yang cukup religius tidak mungkin mau pergi ke salon untuk memotong rambutnya. Â Malahan itu bagus. Uang potong rambutnya bisa dibelikan makanan dan dinikmati bersama tengah hari nanti.
Awalnya mereka, kedua anak gadisku, melihat aku memotong rambut ibunya. Bisa potong rambut wanita? Sebenarnya tidak. Aku tidak memiliki ilmu memotong rambut, laki-laki apalagi wanita. Hanya berbekal menunggui ibu mereka memotong rambut puluhan tahun lalu di sebuah salon sederhana serta melihat gambar tutorial pada majalah wanita Femina aku memberanikan diri menggunting rambut mereka.
Saat itu, sambil menunggui istri dipotong rambutnya, aku amati helai-helai rambut yang ditarik ke sana ke mari oleh sang kapster, lalu sedikit-sedikit dipotong. Setelah "jadi", kok hasilnya biasa-biasa saja, he he he.
"Masa seperti itu saja tidak bisa," pikirku. Jadi ketika rambutnya sudah panjang dan mulai risih lalu meminta aku memotongnya, tanpa pikir panjang aku tidak menolaknya.
"Kres, kres, kres," gunting pun dengan lincah memotong helai-helai rambut panjang istriku. Begitulah hingga selesai.
"Haaa, hasilnya kok aneh?" kataku dalam hati setelah ia mandi keramas.
Untungnya ia mau menerima. Toh keluar rumah rambut ditutupi kerudung, begitu katanya. Plong! Rasa jumawa dengan mengatakan "memotong rambut seperti itu saja tidak bisa" menyadarkanku bahwa memotong rambut perempuan beda jauh dengan memotong rambut laki-laki. Ada teknik-teknik tertentu. Konyolnya, aku belum memelajari teknik itu, rambut istriku keburu panjang. Aku lagi yang memotongnya.
Begitulah, anak-anak perempuanku pun akhirnya berani memintaku untuk memotong rambutnya. Hal itu terjadi setelah berulang kali melihat rambut ibunya tanpa ragu dipotong dengan ganas oleh guntingku, meskipun hasilnya biasa-biasa saja
 Hari ini, gadis remaja keduaku yang sudah satu semester ini kuliah daring pada tahun pertamanya, memintaku menggunting rambutnya. Bukti fisiknya tidak mungkin aku tampilkan di sini karena itu menyangkut auratnya.Â
Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di blog pribadi dengan sedikit perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H