Tema : Harapan
Isi     :
Kusimpan kata dalam mata batinku; kubayangkan sebuah kenikmatan duniawi yang hakiki; kupercaya semua akan terjadi; dan segera akan kumulai cerita hidup baru; aku sudah menjadi mahasiswa; hidupku akan berubah mewah.
Aku bersemangat pergi ke pusat kota untuk menggapai mimpi dan pola hidup baru. Serasa semakin dekat impian dan semua harapan itu, kutinggalakan semua cerita pedihku sewaktu pengangguran di kala itu. Masa pengangguran yang membuat aku merasa insecure ketika melihat temanku memposting kehidupan kampusnya yang baru dan bertemu anak kampus yang datang ke desaku.
      Rasa kesepianku kini akan hilang; cita dan cintaku akan berjalan seperti film sinetron yang romantis itu.
Aduhay... begitulah harapan besarku, harapan yang baru saja kugenggam. Harapan adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan. Harapan memang abstrak tapi aku yakin semua itu pasti akan kugapai mimpi. Salahkah aku punya harapan seperti itu?
Salahkan kepercayaanku itu kutaruh ke dalam prinsip hidupku? Dan salahkah jika aku memang sangat mengidamkan hal yang membuat sikap dan pola pikirku berubah?
Aku adalah anak muda berusia 21 tahun, aku adalah harapan bangsa yang harus mempunyai angan setinggi langit. Satu tahun lamanya pengangguran berlalu, hidupku mati suri, hilang akan harapan, dan gelinang air mata di kala itu. Sudahlah cukup saatnya buka lembaran baru di kampus baru.
Aku bukanlah manusia yang sanggup merasakan kesedihan mendalam dengan waktu yang lama, sementara aku melihat kebahagiaan pada anak lain seusiaku, aku ingin seperti itu. Aku bukanlah tipe pria yang sanggup tegar dalam semua situasi yang mampu memberikan semangat dan tawa kepada orang lain tanpa melihat situasi dan cerita dalam diri sendiri. Aku butuh kesenangan yang sebenarnya.
Memang benar adanya bahwa suasana hati sebelumnya yang kujalani memanglah tidak enak sehingga aku berharap kehidupan dan gaya hidup yang lebih menyenangkan agar aku merasa lebih baik dan lebih bahagia.
Namun setelah beberapa waktu lamanya dunia kampus kujalani nyatanya semuanya melelahkan. Aku adalah mahasiswa yang pada tujuanya adalah untuk menuntut ilmu dengan usaha dan jerih payah. Aku tidak boleh meninggalkan kewajibanku sebagai mahasiswa. Belajar dan belajar; tugas dan tugas. Apalagi kampusku ternyata menggunakan kurikulum dengan basis KKNI. Sungguh mengikatku terus di depan layar laptopku. Bahkan keseringan malam waktu tidur dan rebahku hilang di telan awan. Gelap malam menantiku untuk berkencan dengan layar.
Wajahku sedikit mengempis karena hari-hari larut begadang. Angan bersantai bersama teman-teman sultan belumlah kutemukan. Hidup poya-poya ke mall; jadi tamu dunia gelap malam yang menyenangkan semakin jauh di genggam. Harusnya itu sudah sangat menyenangkan.
Kenyataan sekarang aku bertemu dengan orang-orang yang pas-pasan. Makan di pinggir jalan; irit pengeluaran; berpikir untuk jajan. Ialah mereka sekarang yang menjadi teman-temanku yang sering datang ke rumah kontrakanku.
Terkejut batin aku dengan tingkah laku mereka yang tidak sesuai dengan yang kuharapkan kala itu, ialah harapanku berteman dengan orang-orang sultan. Bukan mereka yang pulang pergi naik motor tanpa uang jaga-jaga di sakunya. Kalau ban bocor, siap jalan kaki dorong motorlah sudah.
Pola makanku di kota ini tidaklah lebih baik dibandingkan dengan pola makan di rumahku bersama ayah ibu. Ternyata di sini aku sering telat makan dan suka tidak serapan pagi. Kuah mie bakso, pernah ku bagi dua untuk lauk pagi hari hingga petang.
 Makan siang adalah sekaligus serapan pagi, oh... inilah kehidupan nayata mahasiswa anak kost, aku tak menyangka ternyata di luar ekspektasiku dalam kehidupan sinetron itu. Belum lagi orangrtua terkadang telat mengirim uang jajan bulananku. Sungguh sesedu sedan itu; hampir mengalir airmata di wajahku yang berkerut ini.
Namun sebegitupun hampir sepenuhnya hari-hariku di ikat oleh layar ini, ialah sebuah tanggungjawab untukku yang akan mengantarkan aku ke dalam sebuah kesusksesan kelak. Sebegitupun  aku menemukan teman-teman yang yang tidak kuharapakan sama sekali, tetapi mereka mengajarkanku arti hidup hemat.
Sebegitupun orangtuaku kadang telat mengirim jajan bulananku, itu mengajarkanku untuk tetap sabar dan bersyukur. Niscaya semua itu harus kupandang dari dua sisi sudut pandang supaya tidak hanya merobek hati di dalam dada.
Aku tak lagi memimpikan kesenangan duniawi di kampusku.  Aku  tak lagi mengharapkan orang-orang sultan datang sebagai teman-temanku. Aku tak lagi mengharapkan semua ekspektasi itu. Teman-teman yang datang padaku telah cukup sebagai sumber motivasi bagiku. Anganku yang dulu sudahlah berlalu.
Aku hanya ingin mendapatkan kesibukan yang mengarahkanku ke masa depan yang lebih cerah. Bersama orang-rang yang dapat memberikan pembelajaran hidup dalam menjalani masa muda, menghargai waktu, dan tidak berpoya-poya. Ialah mereka yang awalanya disebut sebagai teman kini sudah menjadi sahabatku yang menjauhkanku untuk hidup hedonis.Â
Dan mereka tersayang yang selalu menanyakan kabarku di kota ini, menanyakan apakah aku sedang sakit atau tidak. Menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Seperti itulah sebenarnya yang aku butuhkan, bukan menikmati hidup mewah diatas jerih payah mereka yang jauh di sana.
Aku sangat bersyukur, andai saja aku tak sadar akan kewajibanku sebagai mahasiswa yang penuh tanggungjawab, andai saja tidak datang orang-orang seperti sahabatku yang kini memberikan aku pelajaran hidup, maka aku akan terjerumus ke dalam dunia kegelapan dengan kehedonisan. Dan dari semua itu aku telah belajar memetik hikmah dari sebuah kekecewaan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H