Pemilu Presiden dan legislatif 2019 telah berlalu. Saat dimana para wakil rakyat telah berada di posisi masing-masing. Menyisakan kisah tersendiri berupa pengalaman unik bagi para disabilitas muda mengenai hak mereka.
Salah seorang perempuan berjilbab, disabilitas daksa yang harus berkursi roda, misalnya saja. Untuk mengikutkan dirinya dalam Pemilu, menunaikan kewajiban sekaligus hak pilihnya, menyimpan kisah unik, hikmah untuk memperbaiki tempat pemilu yang aksesibel.
Menurutnya, TPS (Tempat Pemungutan Suara) jaraknya terlalu jauh dari rumah, kursi roda tidak dapat masuk ke area sehingga dia harus turun dari alat bantu sehari-harinya, kemudian berjalan kaki menuju kotak suara. Selain itu kotak suara terlalu tinggi baginya.
Lain lagi dengan para tunarungu. Pengalaman pertama tentu akan menorehkan kesan tersendiri. Sebagian dari mereka kebingungan dari awal dalam hal mendaftar, apalagi pada saat pelaksanaan.Â
Ketika mereka mendapatkan kertas suara hanya nama saja tanpa gambar. Hal tersebut membuat mereka bingung. Nama-nama dalam kertas suara sangatlah asing. Meskipun mereka sudah mendapatkan pendamping saat memasuki kotak suara, tetap saja gambar orangnya mereka anggap lebih penting dari sekedar nama saja.
Ya, meskipun masih ada hal-hal yang harus disederhanakan.Â
Namun ada lagi kisah unik dari para tunanetra. Di antara mereka ada yang asal coblos yang penting sudah milih, ada juga yang merasa diarahkan memilih yang lain karena keterbatasan penglihatan, dan ada yang tidak memilih karena merasa tidak ada calon yang mengampanyekan mengenai hak disabilitas.
 Ungkapan-ungkapan para tunanetra ini tentu dapat menjadi pembelajaran bagi penyelenggaraan Pemilu kedepannya.
Selain hak memilih dalam Pemilu, para disabilitas ini juga memiliki hak untuk dipilih. Hal ini sudah tercantum dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres ( tidak terdapat persyaratan yang membatasi hak politik penyandang disabilitas untuk dipilih).Â
Selain itu UU No. 8 tahun 2016 tentang Disabilitas menyatakan dengan jelas, (Hak Politik Penyandang Disabilitas meliputi : Hak memilih dan dipilih, menyalurkan aspirasi untuk dan bergabung dalam Politik, memilih parpol/individu yang menjadi peserta Pemilu, membentuk dan bergabung dalam Parpol/Ormas, memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan Pemilu, memperoleh pendidikan politik ).
Meski tampak masih jarang sekali disabilitas menduduki kursi anggota dewan saat ini, pada beberapa pemilu yang akan datang, bisa jadi para disabilitas ini sudah setara dengan mereka yang masuk dalam kategori "orang normal pada umumnya".
Hal ini tentu saja dengan adanya edukasi berbagai pihak, bahwa para disabilitas ini mampu bekerja layaknya orang pada umumnya. Hanya saja keterbatasan fisik tampak luar, seakan sudah membatasi mind set orang-orang pada umumnya, "Akankah mereka mampu untuk bekerja menyelesaikan tugasnya sebagai bagian dari anggota legislatif?"
Semoga suksesnya Angkie Yudistia, salah seorang disabilitas tunarungu menjadi staf khusus presiden, bisa menjadi contoh kedepannya, bahwa para disabilitas pun mampu setara dalam berbagai hal dengan mereka yang berkategori "normal" pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H