Mohon tunggu...
Susanti Hara
Susanti Hara Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang pendidik yang suka berkreasi

Pembelajar aktif yang senang untuk terus berpartisipasi dan berkreasi untuk memberikan warna pada kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tradisi Munggahan, Jaburan, dan Syukuran di Desa Sengon Kebumen

3 Juni 2018   11:21 Diperbarui: 3 Juni 2018   11:39 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah tinggal di beberapa tempat berbeda ketika masih kecil, menorehkan cerita tersendiri. Misalnya saja ketika kecil tinggal di Desa sengon Kebumen pada saat Ramadan. Pada hari pertama tarawih, setelah sholat berjamaah tersedia makanan dari masyarakat tertentu yang orang sekitar menyebutnya berkat, berupa bingkisan yang bisa dibawa pulang dalam baskom bulat berukuran kecil atau sedang. Warga sekarang menyebutnya tradisi munggahan untuk menyambut hadirnya bulan puasa dan sekaligus tersimpan doa agar puasanya lancar. 

Berkat munggahan ini dari warga sekitar, satu orangnya ada yang membawa 3-5 bingkisan. Jika saya masih kecil isi baskomnya nasi, sayuran, dan lauk-pauknya, pada zaman sekarang isinya lebih kearah makanan mentahan, seperti: gula, teh, beras, dan juga mie. Itu  malam pertama tarawih.

Beda lagi pada hari kedua tarawih dan seterusnya. Ada yang namanya tradisi jaburan. Jaburan berasal dari bahasa jawa yang artinya sodakohan makanan. Pada hari kedua dan seterusnya, warga bergiliran pada setiap malamnya sekitar 5 orang, dimana masing-masing memberikan makanan. Satu orangnya bisa membawa 40 makanan bahkan terkadang lebih. Makanannya bisa bermacam-macam, misalnya: tahu isi, bakwan, kueku, atau lainnya.

Selain memberikan makanan, warga yang mendapat tugas biasanya menyediakan minum satu cerek, berupa minuman teh manis hangat. Dan, setelah tarawih semuanya makan bersama. Untuk bapak-bapak, makanan sudah dipiring, sedangkan ibu-ibu mengambil sendiri. Dan untuk menjaga ketertiban, anak-anak yang ikut tarawih setelah sholat langsung dibagikan makanan jaburan secara langsung.

Makanan jaburan ini biasanya nyaris tak  ada sisa. Sebelum dibagikan, biasanya makanan disisihkan dahulu untuk anak-anak yang tadarus dari pukul 22.00 WIB-01.30 WIB, karena biasanya setelah tarawih warga pulang dulu ke rumah kemudian pukul 22.00 WIB kembali ke masjid untuk tadarus. Yang ikut tadarus biasanya anak SMP, SMA, dan orang tua di lingkungan sekitar. 

Jaburan menjadi keunikan tersendiri karena selama saya di Bandung, jaburan ini tampaknya belum ada. Bisa jadi karena Bandung ini merupakan perkotaan yang warganya cukup sibuk. Lain di Kebumen, lain di Bandung. Di Bandung tampaknya lebih terkenal dengan bukber atau buka puasa bersama yang identiknya makan bersama saat berbuka. Sedangkan jaburan menikmati makanan bersama setelah selesai melaksanakan 23 rakaat sholat tarawih.

Untuk bapak-bapak yang telah selesai sholat tarawih biasanya berkumpul diteras, bercakap-cakap, sambil menikmati jaburan. Tak ada ceritanya sampah berantakan karena langsung dikumpulkan menjadi satu. Piring dan gelas pada saat menikmati jamuan jaburan biasanya disediakan oleh pengurus masjid tanpa harus warga yang membawa dari rumah.

Berdasarkan keterangan dari saudara terdekat yang masih tinggal di sana, hingga kini tradisi jaburan masih ada. Semua warga pasti berpartisipasi. Bahkan ada warga yang sampai 2 kali putaran memberikan jaburan, meskipun tidak semuanya.

Dan, pada hari terakhir, yaitu pada Hari Raya Idul Fitri, tradisinya beda lagi, ada yang menyebut namanya syukuran dan ada juga yang namanya selametan. Pada hari Idul Fitri ini, warga biasanya membawa makanan berkat dalam baskom ke masjid. Setelah sholat Idul Fitri, bingkisan itu dibawa pulang. Siapapun boleh membawa pulang bingkisan itu, tanpa terkecuali.

Kalau zaman saya dulu biasanya pada Hari Raya Idul Fitri saat selametan atau syukuran menikmati nasi tumpeng atau baskom kecil yang bisa dibawa pulang berisi nasi, sayur, dan lauk-pauknya. Sayangnya, karena  nasi tumpeng ini suka diacak-acak anak-anak, sekarang yang membawa selametan atau syukuran jika dulu namanya nasi berkat, sekarang lebih banyak yang membawa mentahan dalam satu baskom, seperti berkat untuk model tahlilan di desa ini, yaitu: beras, teh, gula, dan mie dikemas dalam satu baskom bulat yang bisa dibawa pulang. Dan, yang paling semangat membawa pulang biasanya adalah anak-anak seperti saya zaman dulu waktu masih di desa.

Kenikmatan tradisi-tradisi ini mungkin hanya ada di desa-desa tertentu sebagai bentuk kebersamaan, menikmati rasa syukur bersama. Terutama saat jaburan, warga bisa merasakan nikmatnya makan bersama atau istilah keren sekarang ngopi bareng setelah menikmati khusyuknya 23 rakaat sholat trawih. Meneguk segelas air teh manis hangat bergitu terasa nikmat. Apalagi dinikmati bersama dalam keakraban antar warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun