Unik memang ketika mendapatkan candaan dari sesama guru di ruang pelatihan, “Tuh, kan, si Eneng mah enggak konsisten. Pelatihannya kurikulum 2013, tapi buka laptopnya tahun 2016.”
Saya tersenyum, mengerti maksud candaan beliau ketika saya membuka laptop dan waktu langsung memperlihatkan wujudnya di tampilan layar monitor (Selasa, 12 Juli 2016). Belum sempat saya menjawab, ternyata sudah ada beberapa orang yang menimpali candaan si Bapak berambut memutih itu.
“Dia mah hidup di zaman Doraemon, Pak. Serba maju kedepan,” sela seorang rekan guru berjilbab dari sekolah lain.
“Heu euh ya, kita, kan, hidup di tahun 2016, tapi ini kenapa kurikulumnya masih 2013?” canda lainnya.
Saya tersenyum-senyum mengobrol dengan mereka di ruangan pelatihan Implementasi Kurikulum 2013, yang bertempat di SLB C Sukapura, Jalan PSM Perumahan Bumi Asri Sukapura Kiaracondong Bandung. Beberapa candaan mereka saya ingat betul, intinya: ada yang dengan mudah menerima perubahan, mengikuti saja perubahan, dan ada juga yang merasa kesulitan menerima perubahan hingga untuk menawarkannya menjadi bahan candaan.
Bapak yang bercanda tadi misalnya, secara terbuka beliau mengungkapkan kesulitannya menerima kurikulum 2013. Alasannya terkesan klasik, “Saya, kan sudah tua. Di kepala saya sudah penuh. Jadi kurikulum 2013 sudah tidak masuk karena terlalu penuh jadi hanya numpang lewat.”
Hahaha. Apakah Bapak ini satu-satunya yang mengungkapkan keterbukaan bernada terkesan kurang mengikuti kemajuan? Tidak! Masih ada seangkatan beliau yang menyatakan keterbukaannya yang mengesankan. Mungkin, senada dengan isi hati saya ketika pertama kali di tahun 2014 mengenal sosialisasi kurtilas. Sebenarnya, kita sudah melaksanakan pembelajaran tematik yang sesuai kurtilas di lapangan, hanya saja namanya belum kurtilas seperti sekarang.
Lantas, apa saya menolak kehadiran kurtilas? Secara umum, saya sempat bingung dengan kehadiran kurtilas ketika pertama kali fasilitator mengatakan seperti model gado-gado atau jus buah yang sudah tercampur dalam satu tempat makanan tersebut.
Di lapangan (sekolah tempat mengajar), berbekal soft file dari fasilitator, saya dan rekan guru berusaha memahami materi tentang kurtilas dan mempraktikkannya. Kita sering sekali bertukar pandang mengenai kurtilas. Keluhannya hampir sama, kurang sesuainya buku yang kita terima untuk kita terapkan kepada siswa di sekolah. Dan, pengajaran harus kembali pada guru di sekolah untuk mengembangkannya.
Begitu pun di tahun 2015, ketika saya mendapatkan pelatihan kurtilas, buku penunjang untuk siswa tampak belum siap, ada beberapa buku tematik siswa yang terasa sulit untuk saya dapatkan. Bahkan untuk mengunduhnya pun di internet terasa ribet dan masih jarang penyedia. Pengajaran harus kembali ke guru sebagai fasilitator sekreatif mungkin mengajar di kelasnya.
Nah, bagaimana dengan kehadiran kurtilas di tahun 2016 ini? Masihkah kurikulum 2013 mengambang dalam artian bagi saya belum jelas dan tuntas? Ataukah kurikulum satu ini benar-benar sudah mengendap dengan jelas dan memudahkan guru di lapangan untuk mempraktikkannya?