Mohon tunggu...
Susanti
Susanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka menulis puisi dan karya-karya fiksi lainnya. Saya sedang berkuliah di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Tadris Bahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Tempat Persinggahan

29 April 2024   22:03 Diperbarui: 1 Mei 2024   23:09 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Deruh angin seakan membangunkan lamunanku. Bergemuruh menandai bahwa sebentar lagi akan hujan dan datangnya badai petir. Aku beranjak dari tempat dudukku yang telah ku duduki hampir 3 jam lamanya. Entahlah, saat ini pikiranku sangat kacau dan banyaknya sayat-sayat kalimat pahit yang kutelan pelan-pelan. Mencoba menerima kenyataan buruk yang telah kudengar dari pertengkaran ayah dan ibu. 

Dua hari yang lalu, aku mengetahui segala rahasia pahit yang selama ini keluarga besarku simpan dariku. Kenyataan yang tak kubayangkan sebelumnya dan harus kuterima dengan ikhlas yang kupaksa. Seakan-akan membuat hatiku sesak, ingin berteriak, dan meninggalkan dunia yang penuh dengan drama ini.

Kenyataannya aku adalah anak hasil perselingkuhan ayahku dengan seorang pelacur. Pantas selama ini yang sering kupanggil ibu sangat membenciku. Jangankan untuk memeluk dan mencium, menyentuhku saja ibu tidak mau. Setelah 17 tahun lamanya yang kutau ibuku, ternyata hanyalah orang lain yang membenci dan menganggap bahwa aku hanyalah bencana dalam hidupnya.

Hati siapa yang tidak hancur setelah mengetahui hal ini. Karena mendengar pertengkaran antara ayah dan ibu pada tempo dua hari yang lalu. Aku hanya bisa terdiam dan menangis. Membayangkan bahwa ini hanyalah mimpi burukku. Namun seketika jariku mencubit pipi kiriku dan membuatku meringkih kesakitan. Ternyata ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan. 

Kenyataan yang membuat hatiku teriris secara perlahan dan mengalirkan setetes demi setetes darah yang kian banyak. Kalau bisa digambarkan darah dan air mata itu bisa membuat danau yang tidak ada ikan dan tumbuhan yang ingin tumbuh dan hidup di dalamnya. Isinya hanyalah danau kematian.

Keesokan harinya aku berniat untuk kabur dari rumah dan meninggalkan ayah dan ibu. Agar ibu tidak terus menerus melihat bencana dalam hidupnya. Bencana yang terus terlihat di depan matanya selama 17 tahun ini. Aku mulai beraksi pada saat orang rumah masih tertidur sangat pulas. Sekitar jam 3 pagi aku mulai menjalankan rencanaku untuk kabur dari rumah. Aku meloncat dari jendela kamarku. Aku terdiam sejenak melihat rumah yang selama ini kutau itu rumahku untuk waktu yang lama. Tak sadar air mata menetes di kedua pipiku. Aku pasti merindukan rumah ini, bahkan takkan pernah kutempati lagi untuk seterusnya. 

Aku berhasil kabur dari rumah tanpa ada seorangpun yang tau bahwa aku telah melarikan diri untuk selama-lamanya. Setelah jauh dari rumah langkah kakipun berhenti di halte tempat pemberhentian bus. Kakiku sangat lelah seakan tak kuat lagi untuk melangkah dan berlari. Akupun duduk berhenti untuk menunggu bus untuk pergi ke tempat yang bahkan aku tak tau hendak ke mana. 

Namun, setidaknya aku sudah meninggalkan rumah yang akan selalu kurindukan itu. Sejenak melamun tanpa sadar air mata menetes lagi dan lagi di kedua pipiku. Rasanya aku ingin teriak dan berdiri di tengah jalan dan menunggu kendaraan yang lewat untuk menabrak ku hingga mati.

Lamunan dan rencana jahatku terbuyarkan oleh seorang bapak-bapak yang datang menghampiriku.

"Halo dek, ngapain kamu duduk di sini sepagi ini?" Tanya bapak-bapak yang memiliki badan kekar mengenakan jaket kulit berwarna hitam.

"Lagi nunggu bus, Pak" Lirihku sedikit takut.

"Kamu mau ke mana dan darimana?" Tanyanya sembari duduk di sampingku.

"Belum tau, Pak" Jawabku singkat karena saat ini aku benar-benar merasa ketakutan.

"Ya sudah, sepertinya kamu takut dengan saya. Kalau begitu saya pergi saja" Ucap si bapak sambil berjalan melewatiku.

Perasaanku sedikit lega ternyata bapak-bapak itu tidak berbuat jahat kepadaku. Hampir 2 jam aku menunggu bus di halte ini. Sekitar pukul 05:00 WIB akhirnya bus yang kutunggu sedari tadi akhirnya datang. Akupun naik dan duduk di dekat jendela. Isinya hanya aku dan tiga laki-laki berbadan kekar yang duduk di kursi paling belakang bus ini.

Aku mencoba memejamkan mataku dan berharap dapat tidur karena sudah terlalu lelah menangis sedari tadi memikirkan hidupku yang tidak seindah kehidupan orang lain. Baru saja aku tidur beberapa menit, lalu bus ini berhenti di depan rumah tua yang sepi bahkan tak ada satupun rumah warga lain yang berada di sekitar rumah itu. Aku terbangun dan mencoba untuk berpikir jernih menganggap bahwa ada orang yang ingin masuk bus ini. Mencoba menarik napas pelan-pelan menenangkan diriku. Namun, hatiku tetap tidak tenang dan merasakan ketakutan. Merasa sendirian dan takut dengan situasi yang kualami saat ini.

Ketiga bapak-bapak berbadan kekar tadi menghampiriku dan menarik tanganku dengan kasar. Mereka mencoba untuk menyeret ku dan membawa aku untuk turun dari bus ini. Mereka menarik tanganku dengan kasar dan membawaku secara paksa. Saat ini hanya ada ketakutan yang amat luar biasa yang ada dalam diriku.

"Ayo, cepat turun dan ikut dengan kami nona manis" Ucap bapak-bapak itu kepadaku sembari menarik ku untuk turun.

"Kalian mau apa dariku? Lepaskan tanganku!!" Ringkihku kesakitan.

" Kita hanya mencoba bersenang-senang dengan tubuhmu nona manis. Ayolah, ini pasti menyenangkan untuk kita" Ucapnya kepadaku dengan nada yang mencoba menggoda diriku.

"Lepaskan aku!! Aku hanya ingin memulai hidup yang baru dan menjauh dari kota ini. Tolong lepaskan aku" Ucapku sambil memohon dengan air mata yang terus mengalir di pipiku. Berharap mereka kasihan dan melepaskanku.

Tanpa mendengarkan ucapanku mereka terus menarik tanganku hingga keluar dari bus dan membawaku ke rumah kosong tua yang berada di seberang jalan. Aku hanya meringkih kesakitan dan mencoba untuk lari dari ketiga orang jahat ini.

"Tolong!! Siapapun tolong aku!!" Teriakku, namun tak seorangpun mendengarkan teriakanku.

Rasanya percuma aku berteriak karena tak ada satu orang pun yang mendengarkan dan tak satu pun manusia yang terlihat di sini. Badanku lemas seakan tak berdaya dengan cengkraman tangan dari ketiga orang jahat ini. Aku hanya berharap ada sebuah keajaiban dan pertolongan dari Tuhan untuk menolongku.

Ketiga orang jahat ini tidak menghiraukan tangisan dan permohonanku. Mereka seakan senang dengan ketakutan dan tangisan yang terus keluar dari mataku. Aku tak mampu untuk melawan ketiga orang ini. Saat ini aku hanya bisa pasrah. Laripun kaki pun tak sanggup. Tak ada energi untuk melawan ketiga orang berbadan kekar ini.

Mereka membawaku keruangan kecil dan mengunci pintu agar aku tak bisa kabur. Saat ini ketakutan benar-benar sangat memuncak. Menangispun tak ada gunanya. Air mataku seperti tak keluar lagi seakan-akan habis.

"Tolong lepaskan aku, Pak. Kumohon lepaskan aku wahai orang yang baik dan sangat kuyakini kalian adalah orang yang sangat baik. Biarkan aku pergi dan ampunilah aku" Mohonku berharap ketiga orang ini kasihan dan melepaskanku.

"Kamu tidak usah khawatir nona. Kami hanya ingin bersenang-senang denganmu itu saja. Ikuti saja alurnya dan rasakan kebahagiaan diantara kita berempat" ucapnya dengan nada yang menjijikkan di kedua telingaku saat mendengar ucapan ketiga orang jahat ini.

Mereka mulai beraksi untuk menodaiku dengan memaksaku untuk melepaskan busana yang melekat pada badanku. Namun aku memberontak dan lengan bajuku robek karena ditarik paksa oleh orang jahat ini. Karena selalu mencoba memberontak dan melawan ketiga orang jahat ini mereka menampar kedua pipiku dan mencoba untuk menyakitiku agar aku takut dan pasrah untuk dinodai oleh orang jahat ini. Rasanya sakit sekali. Seumur-umur aku tidak pernah ditampar oleh orang lain. Suasana mencekam seakan-akan menyuruhku untuk pasrah dan mengabulkan segala permintaan ketiga orang jahat ini.

"Tolong!! Tolong aku!!" Teriakku berharap ada keajaiban dari Tuhan untukku.

"Tidak akan ada orang yang akan menolongmu. Tak satupun orang ada di sini. Kabulkan saja permintaan kami, lalu kamu akan kami lepaskan" Gertak ketiga penjahat ini.

Mereka mencoba mendekatiku dan memegang kedua tanganku agar aku tidak bisa lari dan memberontak. Saat hendak ingin menodaiku lalu terdengar suara pintu didobrak dari luar.

Braakkk. Suara dobrakan pintu yang begitu keras. Dalam hatiku siapa yang telah mendobrak pintu ini. Apakah dia penyelamat yang dikirim Tuhan untukku. Ternyata dia adalah bapak-bapak yang mengajakku berbicara di halte pemberhentian bus tadi.

"Lepaskan gadis itu!! Sebentar lagi polisi akan menangkap kalian bertiga" Gertak si bapak yang kuanggap penyelamat hidupku.

"Akkhhhh" Geram ketiga penjahat itu. "Ayo kita kabur sebelum polisi datang menangkap kita" Ajak salah satu temannya.

Namun, saat hendak kabur polisi datang dan menangkap ketiga penjahat itu. Ketiga penjahat itu tak bisa lari dan hanya pasrah. Merekapun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.

Perasaanku sangat lega dan tidak henti-hentinya berterima kasih dan bersyukur kepada keajaiban Tuhan. Akhirnya aku dan bapak yang baik hati diantar oleh mobil polisi untuk pulang ke rumahku.

Pada saat di perjalanan si bapak yang baik hati berkata padaku "Kamu baik-baik saja kan nak?. Apa ada yang luka atau kamu masih merasa ketakutan. Tenanglah, kamu sudah aman. Kamu akan saya antar pulang ke rumah ayah dan ibumu" Ucap si bapak mencoba menenangkan dan memelukku agar merasa tenang.

Mataku berkaca-kaca dan tanpa sadar menetes untuk kesekian kalinya. Akupun memeluk bapak itu dan berkata "Terima kasih, Pak. Terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Terima kasih untuk kesekian kalinya, Pak" Ucapku kepada si bapak. Hanya itu yang dapat aku ucapkan kepadanya. Balasan apapun takkan sebanding dengan apa yang telah ia lakukan padaku. Bapak itu hanya tersenyum dan memelukku begitu erat ke dalam dekapannya.

"Panggil saja saya Pak Bambang. Itu adalah namaku. Namamu siapa, nak? " Tanyanya kepadaku.

"Namaku Ayna Kartika Putri, Pak. Panggil saja ayna" Sambung ku menjawab pertanyaan Pak Bambang.

Tak lama di perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah yang kutau itu rumah orang tuaku. Walaupun niat awalku gagal untuk kabur dari rumah ini dan memulai kehidupan baru malah mendapatkan musibah besar untuk diriku sendiri.

Ayah dan ibu keluar dari rumah dan menghampiriku. Lalu mereka memelukku erat dan menangis. Begitu erat dan nyaman dekapan dari kedua orang yang kucintai. Sangat nyaman seakan aku tak inggin melepaskan dekapan dari ayah dan ibuku.

"Kamu dari mana saja ayna?. Ayah dan ibu sudah capek mencarimu?. Apa yang sudah terjadi padamu, nak? Kenapa kamu kabur dari rumah? " Tanya ayahku yang membuatku tak bisa menjawab semua pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.

Aku hanya terdiam dan menangis. Kepalaku tertunduk tak mampu menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan ayah kepadaku. Lalu, Pak Bambang dan Bapak polisi menjelaskan kronologi kejadian yang telah aku alami. Ayah dan ibu pun terkejut seakan tak percaya bahwa aku telah mengalami kejadian semenakutkan ini. Mereka menangis dan memelukku begitu erat sambil tiada henti mengucapkan rasa syukur atas apa yang telah menimpa diriku.

"Maafkan ayah dan ibu ayna. Maafkan ayah karena tidak jujur dan menyembunyikan kenyataan pahit ini padamu. Seharusnya kamu harus mengetahui apa yang terjadi pada dirimu. Maafkan ayah karena gagal menjagamu" Ucap ayah yang terus menangis dan tiada henti memelukku.

"Maafkan ibu ayna. Maafkan ibu karena tidak bisa menerima kenyataan yang telah menimpa ibu 17 tahun yang lalu. Kamu tidak salah apa-apa. Seharusnya ibu tidak pernah membencimu. Seharusnya ibu bisa memaafkan kejadian yang telah menimpa keluarga kita. Seharusnya ibu bisa memberikan kasih sayang dan menjagamu ayna dengan rasa ikhlas. Maafkan ibu ayna, maafkan ibu" Isak ibu yang terus menangis dan tanpa henti meminta maaf kepadaku.

"Tidak apa-apa, ayah dan ibu tidak salah. Seharusnya ayna tidak meninggalkan kalian begitu saja. Seharusnya ayna tidak kabur dari rumah. Maafkan ayna yang telah salah mengambil keputusan" Sambungku dengan tangisku yang semakin pecah dengan penuh penyesalan karena kebodohan yang telah aku perbuat.

Setelah saling memaafkan dan menerima segala kenyataan yang telah terjadi pada keluargaku, kamipun saling berpelukan dan tiada henti berterima kasih dan bersyukur dengan keajaiban Tuhan kepadaku.

Ayah dan ibu juga berterima kasih kepada Pak Bambang dan Bapak polisi karena sudah menolongku dari penjahat. 

Setelah kejadian itu, ayah dan ibu selalu menyanyangiku dengan tulus dan selalu menjaga satu sama lain. Hidup kami menjadi rukun. Tidak ada kebencian diantara kami. Semuanya sudah menjadi lebih baik. Rumah yang kuharapkan untuk tempat pulang menjadi kenyataan. 

Rumah yang selama ini ku mimpikan menjadi tempat bahagia untuk pulang. Kebahagiaan selalu memancar dari keluarga kami. Ternyata tempat yang paling nyaman setelah pencarian panjang adalah pulang ke rumah dan bertemu dengan orang-orang terkasih. Rumah yang kuinginkan menjadi surga yang selalu kurindukan.

             
TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun