Sri Aurobindo Tentang Evolusi Kesadaran Dan Sumbangannya Bagi PendidikanÂ
Susana Paula NdawangÂ
Dalam ilmu pengetahuan di Barat, evolusi merujuk pada aksioma mengenai proses formasi, dan tidak berkaitan dengan penjelasan mengenai keberadaan (eksistensi) manusia. Kita misalnya mengetahui tentang teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi lebih tinggi dari simpanse. Kita juga bisa melihat evolusi perkembangan teknologi telepon genggam, dari yang sederhana, sebatas untuk komunikasi sampai perkembangan terkini dalam rancangan yang lebih canggih dan dilengkapi dengan berbagai fitur menarik lainnya.Â
Namun, gagasan evolusi ini memiliki kandungan dan penekanan yang berbeda dalam perspektif Timur, terutama dalam Filsafat India. Terkait manusia misalnya, Vedanta, filsafat yang mendasarkan diri pada teks-teks Upanishads, tidak menekankan evolusi fisik sebagaimana pandangan Darwin. Salah satu pemikir dalam Filsafat India yang mencoba menjembatani pandangan saintis dan agama dalam konteks evolusi adalah Sri Aurobindo.
Kesadaran: Involusi Dan Evolusi
Aurobindo mendasarkan filsafat evolusi spiritualnya pada gagasan yang terkandung dalam teks-teks spiritual India, namun memasukkan ke dalamnya juga gagasan dari Barat. Kendati teorinya secara keseluruhan sangat otentik dan orisinal, tetapi dapat dibagi ke dalam beberapa elemen penyusun. Yang pertama, pemikirannya mengandung pandangan evolusi yang dipahami sebagai perkembangan bentuk-bentuk kompleks melalui evolusi fisik.Â
Gagasannya juga mengandung dua elemen penting dari Vedanta, yakni ide tentang 'Satu Ada' (Brahman), dan kesempurnaan jiwa melalui kelahiran kembali. Ke dalam gagasan Vedantik tersebut, Aurobindo menambahkan dua gagasan lain yang secara implisit terkandung dalam Upanishads dan Weda yakni perkembangan menuju level tertinggi kesadaran dan munculnya suatu pikiran super (supramental) dan kesadaran spiritual. Kedua gagasan ini, yakni pikiran super dan kesadaran spiritual sebenarnya telah terkandung dalam sumber-sumber esoterik dan agama-agama: involusi kesadaran dan kemungkinan divinisasi manusia (Heehs, 2020: 167).
Dalam kaitan dengan hal itu Aurobindo menyatakan bahwa the sa (Tuhan) dalam Upanishads adalah Keberadaan-Kesadaran-Berkat (sat-cit-nanda) yang 'menuangkan dirinya keluar ke dalam jutaan bentuk dan nama-nama dan terus menjaganya dalam gerak lingkaran abadi dari fenomena evolusi, di mana Ia menuntun dan membangun.' Maksud dari evolusi adalah realisasi lebih luas dan terus meluas dari Brahman universal.Â
Brahman ini menjadi tujuan kepadanya kita berkembang, mulai dari kebinatangan menuju kemanusiaan lalu ke dalam keilahian dan akhirnya ke dalam Brahman, di dalamnya evolusi kita menemukan akhirnya yang membentang serta istirahatnya. Dari sini, nampak bahwa dari sumber-sumber Vedantik dan Smkhya yang dibaca dari perspektif evolusi, gagasan seperti Satu-Ada dan kesadaran, Brahman dan satu-Diri, tman, menjadi pusat dari pemikirannya.
Aurobindo dalam sintesis Vedanta-Smkhya menyatakan ada tiga proses evolusioner yakni spiritual, psikis dan elemental. Secara spiritual, Aurobindo menulis bahwa segala sesuatu bermula dari atau berasal dari limitasi-diri turya tman, yakni jiwa di dalam level keempat atau keadaan transendentalnya.Â
Dari ide ini, kemudian ia mengintrodusir gagasan yang ditemukan dalam Mndkya Upanishads bahwa keadaan keempat dari jiwa terletak di atas tiga keadaan jiwa lainnya yakni Tidur, Mimpi, dan Berjalan. Ia menafsirkan keadaan tersebut sebagai suatu proses turunnya (descent - yang dapat disamakan dengan proses emanasi dalam filsafat Plotinos) Roh murni ke dalam materi fisik. Maksud dari evolusi ke bawah ini yang disebut sebagai involusi adalah untuk menciptakan suatu tubuh yang sesuai bagi proses evolusi meningkat (ladder) ke dalam bidang roh murni.
Proses turunnya roh murni yang dilihat sebagai proses pertama evolusi, lalu diikuti oleh proses kedua yakni evolusi psikis yang beroperasi melalui individu-individu, di mulai dari Diri (Self) melalui Kehendak (Will), inteligensi super, pikiran dan organ-organ perasa dan tindakan sebelum mencapai materi dalam bentuknya yang halus dan kasar.Â
Dengan pandangan ini, Aurobindo menyatakan bahwa evolusi psikis bertentangan dengan kesimpulan-kesimpulan ilmu pengetahuan modern yang melihat jiwa dalam evolusinya pada level yang sangat materialistik. Bagi Aurobindo, yang benar adalah bahwa kehidupan fisik merupakan hasil evolusi dari tataran psikis, dan bahwa evolusi fisik tidak lebih dari suatu operasi atau aktivitas sementara dari hal-hal psikis. Maka sekali involusi mencapai materi fisik, pada saat itu juga evolusi spiritual dimulai (dalam Heehs, 2020: 173).
Akhirnya, proses ketiga yakni evolusi elemental didasarkan pada gagasan tentang materi, seperti roh yang bersifat abadi. Menurut Aurobindo, kemungkinan evolusi dari dan involusi ke dalam satu sama lain tidak dapat dibayangkan atau tak terbayangkan kalau pada hakekatnya mereka bukan satu entitas. Artinya, karena mereka satu entitas maka proses evolusi kesadaran itu dapat dimungkinkan.Â
Memang, dalam Smkhya menerima bahwa roh dan materi adalah dua hal yang terpisah, tetapi dengan bantuan Vedanta, Aurobindo menyatakan bahwa roh (purusa) dan materi (prakrti) merupakan prinsip-prinsip dasariah dan keduanya adalah aspek-aspek dari entitas tertinggi yang satu dan sama. Di akhir analisanya, Aurobindo menegaskan bahwa evolusi merupakan hasil dan tanda dari proses involusi yang telah terjadi sebelumnya. Evolusi hanya bisa berlangsung bila terjadi involusi, yakni masuknya roh ke dalam materi.
Untuk itu, Aurobindo menegaskan bahwa evolusi tidak lain adalah proses mengenai "kehidupan yang terbit dari materi karena kebenaran di dalam sesuatu (things) itu, merupakan gagasan murni yang bekerja di dalam dunia, di mana melaluinya berasal dan membimbing evolusi, meminta dan memaksa, barangkali juga melalui dorongan dari dunia atas di mana kehidupan merupakan kekuatan dominan dan prinsip dasar, suatu evokasi yang terorganisasi dan Kehidupan yang memenuhi dirinya sendiri (self-fulfilling Life) keluar dari substansinya yang lembam dan kekuatan hidup yang tak bernyawa." Apa yang ditegaskan ini oleh Aurobindo dalam kutipan ini disebut sebagai inti dari gagasan evolusi spiritualnya. Rumusan ini ia sebut sebagai 'Kehidupan Ilahi' (The Life Divine) dan terdapat dalam komentarnya atas sa Upanishads (Aurobindo, 2010). Aurobindo menyebutnya sebagai 'kehidupan ilahi' yang juga merupakan tilikan metafisisnya, karena ia merasa bahwa divinisasi kehidupan di atas bumi merupakan tujuan tertinggi dari eksistensi manusia (Aurobindo, 2001: 423).
Sumbangan Bagi Pendidikan
Bagi Aurobindo, pendidikan manusia harus bersifat integral, yakni mencakup pendidikan fisik, psikis dan spiritual. Spesialisasi dalam pembelajaran membuat cara pandang orang menjadi sempit. Jacques Barzun menyatakan bahwa spesialisasi adalah kecenderungan untuk menonjolkan diri, kikir, dan menumpuk pengetahuan yang dapat dibilang sepele dalam bidang yang sempit dan terisolasi. Oleh karena itu seorang pakar mengambil topic yang sempit dalam bidang studinya -- dan tetap sempit sepanjang hidupnya. (Barzun, 1989: 6-7). Pendidikan yang hanya menekankan satu segi saja akan membawa atau menjauhkan seseorang dari tujuannya yang tertinggi yakni mengambil bagian dalam menghadirkan kerajaan Allah di dunia. Dengan integral, berarti pendidikan sedapat mungkin menyiapkan seorang anak untuk mampu mendidik dirinya sendiri, pendidikan yang memungkinkan seseorang itu menyadari makna dan panggilan terdalam dari kehadirannya. Ini berarti juga bahwa proses pendidikan itu sedapat mungkin bergerak ke arah yang lebih tinggi.
Di sini, Aurobindo melihat bahwa pendidikan harus menaruh perhatian yang tepat mengenai prosesnya dan tidak menekankan hasil. Maka, bagi Aurobindo, kita perlu memerhatikan beberapa prinsip penting dalam pendidikan. Yang pertama, bahwa dalam pendidikan, tidak ada sesuatu yang dapat diajarkan. Prinsip ini hendak menegaskan bahwa guru bukan seorang instruktur yang melihat murid sebagai suatu wahana pasif. Guru adalah penolong dan pembimbing. Ia hanya bertugas menolong murid dalam proses menjadi manusia. Prinsip yang kedua adalah bahwa pikiran harus dibentuk untuk berpikir. Menurut Aurobindo, pendidikan yang membentuk pikiran serta hidup anak menurut keinginan guru atau orang tua adalah suatu yang bersifat barbar dan merupakan takhyul yang biada dan bodoh. Ide semacam itu merupakan sebentuk tirani diri terhadap kehidupan anak. Prinsip yang ketiga bahwa pendidikan harus dimulai dari sesuatu yang dekat dan bergerak menuju hal-hal yang jauh serta harus dimulai dari apa yang ada menuju apa yang seharusnya. Ini berarti pendidikan harus berproses secara alamiah, dalam arti tidak dipaksakan. Dalam konteks evolusi spiritual Aurobindo, pendidikan adalah bagian penting dari evolusi spiritual. Pendidikan adalah suatu proses menuju kesatuan dengan Allah sebagai dasar dan realitas tertinggi dan tujuan akhir dari proses evolusi.
Penutup
Aurobindo mengembangkan filsafat yang mengkombinasikan pandangan India Kuno, sebagaimana terekam dalam teks-teks suci orang India, dengan pandangan Barat modern. Salah satu gagasan kuncinya adalah teori tentang evolusi spiritual. Bila dipandang secara tematis, apa yang dilakukan oleh Aurobindo adalah salah satu cara dalam menjawab persoalan-persoalan yang bersifat tetap dalam filsafat, di antaranya adalah pertanyaan mengenai perubahan versus maksud atau tujuan dalam penciptaan. Tetapi kalau dipandang secara historis, Aurobindo berusaha menjembatani hubungan antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas atau pandangan keagamaan. Ia menunjukkan bahwa materi, kehidupan dan pikiran adalah ekspresi atau manifestasi dari kesadaran spiritual dan pada saat yang sama merupakan acuan melaluinya terbit kesadaran yang datang dari level yang lebih tinggi, dan membuka jalan bagi transformasi dan pengilahian kehidupan.
Dalam konteks dengan pendidikan berarti bahwa pendidikan bukan hanya suatu proses membentuk manusia menjadi objek dalam lingkaran perputaran ekonomi. Jauh lebih dalam dari hal tersebut, pendidikan adalah bagian atau sarana penting dalam evolusi kesadaran spiritual. Maka pendekatan terhadap pendidikan sedapat mungkin bersifat integral dan tidak hanya fokus pada satu aspek tertentu saja dari pribadi manusia. Pendidikan yang mengabaikan perhatiannya pada perkembangan integral manusia menuju kesadaran yang lebih tinggi pada akhirnya hanya akan menghancurkan manusia dan menjauhkan manusia dari tujuan akhirnya, yakni kesatuan dengan yang ilahi.
Pustaka
Aurobindo, Sri. 1998. Essay in Philosophy and Yoga. Pondicherry, India: Sri Aurobindo Ashram Press.
Aurobindo, Sri. 2001. Upanishads II: Kena and Other Upanishads. Pondicherry, India: Sri Aurobindo Ashram Press.
Barzun, Jacques. 1989. The Culture We Deserve. Connecticut: Wesleyan University Press.
Peter, Heehs. 2020. "Sri Aurobindo's Theory of Spiritual Evolution," Asian Religious Responses to Darwinism. Ed. C. Mackenzie Brown. Switzerland: Springer International.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H