LDR (Long distance relationship) karena rantau setelah bertahun-tahun bersama saat mengenyam pendidikan, menantang bagiku yang telah nyaman dilindungi. LDR membuat hari-hariku lewat penuh rindu meski saat sibuk dan asyik sekalipun. Rindu seperti pada orang rumah. Tanpa jeda meski telah pasrah dalam doa.
Sejujurnya ketika awal rantau, seperti pada orang tua, aku keras kepala agar diizinkanmu. Berbagai niat dan tujuan, aku lontarkan meski beberapa kali aku tersipu, kamu bisa menebak sebagian besar alasanku menghibur dan menyakinkanmu meski aku sendiri kadang ragu. Ya, demikianlah istimewa kamu bisa mengetahui segala yang aku pikirkan termasuk niat konyol yang aku sembunyikan dibalik kata bertujuan mulia.
Selepas izin sekadarnya dan tidak peduli engkau tulus restu pun berat, aku diantarmu. Engkau antusias, setidaknya aku lega, tidak sendiri menenteng koper tak beroda dan tas rusak, kata temanku. Tentang itu aku tidak peduli. Aku  terlalu bahagia karena niatku tercapai, termasuk lupa kesedihan dan akibat perdana rantau dan jauh, kemudian. Aku lagi-lagi berteman rindu seperti sejak pertama mengenalmu.
Merantau karena kemauan sendiri dan menentang segala kemungkinan termasuk tidak sanggup merindu seperti kata Papa, ternyata benar. Sewaktu-waktu, aku ja-im (jaga image), berkata  tidak rindu. Takut diledek, "Cemen".
Tapi kini  tidak demikian. Itu hanya terjadi tiga bulan pertama di tempat rantau tidak berjaringan telepon dan aku harus menggunakan Ketinting selama dua jam, sebulan sekali untuk menelpon.  Sama seperti pada orang rumah, ketika telpon aku selalu bersemangat cerita sukacita. Dengan demikian aku tahu mereka lega.
 Kenyataannya,  tanpa jaringan telepon dan internet. Ditemani riuh jangkrik dan cacing tanah ketika senja, aku bosan mendesah. Pada buku diari yang nanti aku berikan padamu, aku tumpahkan rasa dan air mata. Ternyata bukan hanya rindu padamu dan orang rumah yang menikam dada, tapi pada orang bijak yang pertama merestuiku rantau, yang lelap dan bahagia di Surga persis lima belas hari aku sampai. Â
Hingga ketika merangkai kata ini, sama ketika mengenangnya, air mataku rangkai bersama rindu membiru. Aku membiarkannya kali ini. Tentang dia, kamu tahu segala kebaikannya dan siapa Dia.
Dia, juga ternyata yang pertama meruntuhkan kuatku menyimpan rindu sampai jumpa. Dalam mimpi suasana  ketika pulang, selalu ada gambar aku yang piluh meratap di pusara merah bersalib putih. Hingga kini, di sini aku telah bertahun menahan tangis dan kadang berbicara sendiri ketika lelah padanya, seketika itu aku semangat. Kemudian sadar, aku cukup mendoakanya supaya tetap tenang di sana.
Tulisan ini, semula  hanya untuk bagi kisah bahagia untukmu kekasih, yang bersedia LDR-an seperti papa-mama. Kemudian menyeretku ke titik terendah. Tidak apa, demikianlah suka dan dukaku. Aku perantau penuh keterbatasan rasa. Oleh saranmu, berlahan pulih. Aku harus bersyukur atas apa yang ada dan tidak ada,  syukur karena tahu yang pergi akan kembali, termasuk mendoakan dan belajar bersyukur untuk yang pergi selamanya.
Akhirnya "kekasihku" berarti luas, bukan terbatas pada kamu seorang. kekasihku adalah semesta yang pernah berjumpa dan kini jauh, pun yang kini ada dan nanti jauh. Termasuk diriku sendiri. Semuanya dekat dihatiku. Tentang hal ini, aku belajar darimu. Kekasih specialku, yang selalu peduli pada semesta hingga aku tidak ragu ketika jauh. Seperti papa dan mama, hari-harimu sibuk untuk berbuat dan memikirkan kasih, keistimewaan yang membuat aku pangling ternyata masih ada, ya! Demikian indah sejak awal hingga kini. Tidak berubah.
Ketika tiba waktu aku kembali dan harus ke sana, engkau mungkin tidak menjemputku. Aku memilih demikian supaya memberi kejutan padamu dan kekasihku lainnya. Izin aku menata kejutannya apik, meski sesekali menanyakan bagimana cara membuatnya seindah tak terhitung caramu dan papa- mama padaku.
***
Memes- Papua, 4 Februari 2021 (DoubleO)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H