Mohon tunggu...
Susan Irma
Susan Irma Mohon Tunggu... -

menulis,,,ajang untuk pelampiasan rasa :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Emakku, Ibuku

23 Desember 2010   02:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:28 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku ingin bercerita, cerita tentang seorang perempuan,,,,ibuku.

Ibuku, tanggal 18 November kemarin usianya genap 74 tahun,,,tidak ada perayaan, tak pernah ada istilah perayaan ulang tahun di keluargaku. Tak pernah ada. Dulu, waktu aku kecil, banyak sekali teman-teman sepermainanku yang ulang tahunnya di rayakan, tiup lilin, potong kue,,,dan aku pun berkhayal ulang tahunku akan dirayakan juga, kusampaikan khayalanku pada ibuku, dan ibu hanya berkata: ‘’ Neng baca doa dan ngucap syukur pada Alloh, itu adalah perayaan’’. Sejak itu tak pernah terlintas keinginan untuk merayakan ulang tahun, ibu telah mengajariku bagaimana cara merayakannya, bersyukur.

Walau demikian, tanggal 18 Novemberkemarin, aku sengaja ambil cuti dari kantorku, kusiapkan hadiah kecil dan sekotak coklat. Hadiah kecilku berupa satu kotak saputangan. Ya, sekotak saputangan, tidak seberapa harganya, tapi aku selalu ingat ibuku selalu setia dengan yang namanya sapu tangan, kemana-mana harus membawa saputangan, ke pengajian, ke ondangan, berkunjung ke tetangga sebelah rumah, kemana pun beliau pergi, saputangan selalu menemani. Dulu kami pun, anak-anaknya begitu, kemana-mana bawa saputangan juga, tapi seiring bergeraknya zaman, kami mulai beralih ke yang namanya tissue, dan tak menggunakan sapu tangan lagi. Ibuku tidak, beliau tetap bertahan dengan saputangannya.Ah tanpa disadarinya,Ibuku ternyata pendekar lingkungan, tidak mau menambah sampah, dengan pemakaian tissue yang sekali pakai itu, pun menghemat penggunakan kayu sebagai bahan bakunya.

Saat akhirnya tanggal 18 November tiba, aku peluk dan kucium ibu, kuberikan kotak sapu tangan dan kotak coklat, ibuku cuma tertawa-tawa kegelian ‘’hehehe,,,,,nengnanaonan ieu teh?’’ (‘’hehehe,,,ini apa-apaan neng?’’ ) Ahh,,,,,ibu,,,ibu,,,,.

Banyak hal yang kuingat tentang ibu,,,salah satunya saat pertama kali masuk SD. Pagi-pagi benar, aku sudah mandi, ibuku dan teteh, kakak perempuanku, sibuk mendandaniku. Baju baru, tas baru, buku baru dan sepatu baru. Aihhhh,,,senengnya. Jam setengah tujuh, kakak sepupuku yang juga sama pertama kali mau masuk SD, sudah memanggil-manggil namaku, mengajak berangkat. Aku keluar bersama ibuku yang juga sudah berdandan rapi, khas dandanan ibuku, kain dan kebaya. Sebenarnya sekolah SD itu tidak begitu jauh dari rumahku, paling 300 meteran.Tapi Karena ini hari pertama dan sekolahku berada diseberang jalan raya provinsi yang ramai dengan kendaraan, jadi aku diantar ibuku. Kami mulai berjalan, berangkat menuju SD,,,,satu dua langkah,,,,aku mulai merasa tidak nyaman dengan sepatuku,,,,tapi tak kuhiraukan, aku terus melangkah sambil tertawa dan bercanda dengan sepupuku, tapi tetap langkahku tak bisa cepat. Lama-lama jalanku jadi tertatih-tatih. Setengah perjalanan, aku sudah tak sanggup lagi berjalan, tanya kenapa? Ternyata ibuku membelikan aku dengan nomor yang entah satu atau dua nomor diatas nomor kakiku. Jadi ya kedodoran, waktu dipakai dalam keadaan diam dipakai sihtidak apa-apa, tapi pas dipakai berjalan, ya lepas-lepas.Bukan tanpa sebab, atau bukan pula karenaibu kurang perhatian sehingga tidak hapal nomor kaki anaknya. Tidak. Ibu berharap sepatu itu akan bisa kupakai sampai kelas dua atau sampai kelas tiga SD, karena susahnyaekonomi kami waktu itu, ibu belum ada bayangan kalau harus membelikanku sepatu tiap tahun. Akhirnya, karena takut kesiangan, ibu menggendongku sampai ke sekolah, sepatu kujinjing. Hari pertama sekolah, digendong ibu!

Semakin besar, semakin aku faham keadaan keluargaku, aku tidak pernah menuntut macam-macam, sudah bisa makan, sekolah dan membeli buku pelajaran saja, sudah suatu yang harus aku syukuri.

Pernah suatu kali ibu bercerita: ‘’ Neng, dulu mah, kalau ibu belanja ke alun-alun, waktu kamu masih kecil, masih digendong-gendong,,,,istri pemilik toko teh, suka ngeliatin ibu, lamaaaa banget,kadang ibu teh sampai tidak enak hati, eh,,lama-lamadia teh nanya: ibu ini teh anak ibu? Kata ibu teh, ya iya atuh ini anak saya, mungkin dia teh heran kali ya neng, da wajah ibu mah beda ma wajah neng’’ Ahhhhh,,,istri pemilik toko kurang ajar, coba kalau aku udah mengerti dan bisa ngomong, aku pasti lantang berkata: ‘’Hei, ibu pemilik toko yang terhormat, ini ibuku,,,walau morfologiku tidak seperti morfologi ibuku, tapi ini ibuku!!’’

Waktu aku berada jauh dari ibu pertiwi, aku selalu teringat ibu, tiap kali mau ujian atau presentasi, aku selalu menyempatkan diri menelpon dan meminta doa restu dari beliau. Pun saat tidak ada ujian atau presentasi, aku usahakan minimal seminggu sekali aku menelpon. Karena perbedaan waktu Eropa dan Indonesia yang cukup lumayan jauh (5 sd 6 jam, tergantung musim), biasanya aku menunggu jam 12 malam untuk menelpon ibu supaya di kampung halamanku tempat ibu tinggal, jam 5 atau jam 6 pagi, dan pada jam itu di rumahku udah ramai dengan segala aktifitas.

Yang kami obrolkan biasanya standar percakapan keluarga. Yang khas dari ibuku adalah, tiap kali aku menelpon setelah saling memberi salam, dilanjutkan tanya kabar, pertanyaan ibu selanjutnya adalah: ‘’ Neng udah sarapan? Sarapan sama apa?’’Biasanya aku jawab:’’ Bu, disini jam 12 malem, tidur saja belum, masa langsung sarapan?’’ dan ibuku akan berkata:’’ Oooh,,,jam 12 malem? Beda yah?’’ selanjutnya aku terangkan tentang perbedaan waktu,,,,dan ibu biasanya berkata:’’ Ooohh,,begitu’’

Seminggu kemudian, aku menelpon lagi tengah malam waktu Jerman, ibuku bertanya kembali:

’’ Neng udah sarapan? Sarapan apa sekarang?’’ Ahhh,,,ibu, maafkan anakmu yang tidak bisa menerangkan teori perbedaan waktu dengan cukup pintar,,,. Buat Ibu, aku ada di kota-kota di Eropa atau di kota-kota lain di belahan dunia manapun , sama saja, sama-sama jauh,sama-sama hanya bisa saling mendengarkan suara saja, sama-sama tidak di berada di kampung halaman.

Zaman terus berubah, kami anak-anak ibu juga berubah,,,,ada yang sudah nikah, kerja, kuliah,,,tapi ibu tetap dengan kesederhanaannya, tetap dengan rendah hatinya, tetap dengan rasa tidak tegaannya, tetap dengan kain dan kebayanya (ditambah kerudung tertutup sekarang), dan tentu saja tetap dengan saputangannya,,,

‘’Ya Alloh aku tahu aku tidak akan pernah bisa membalas semua jasa dan pengorbanan ibu, aku hanya meminta padamu ya Alloh, beri aku kesempatan dan kekuatan untuk membahagiakan ibuku, beri kesempatan padaku untuk membuat ibu merasa bangga telah melahirkan aku, amiin’’

Bogor, 22 Desember 2010

-Susan Irma-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun