Mohon tunggu...
Gui Susan
Gui Susan Mohon Tunggu... lainnya -

Pencinta buku, seorang ibu dari Fadhlur Rahman Al Kautsar dan anak dari Gui Hok Yang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Erna Leka, Melawan Kegelapan di Bumi Dipasena

28 Oktober 2016   10:02 Diperbarui: 28 Oktober 2016   10:23 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur,Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, masih terus menanti hujan, sudah 4bulan para pembudidaya menunggu dengan sabar. Salinitas air melonjak tinggi. Inilah fenomena di balik terancam gagalnya panen udang di Bumi Dipasena. 

Di saat yang sama, penyakit white spot atau dalam istilah lokal disebut telek putih memberi dampak menurunnya pendapatan pembudidaya di Bumi Dipasena. 

Di sektor perikanan tangkap, perempuannelayan bekerja selama 17 jam perhari. Sementara itu, di sektor perikananbudidaya, perempuan bekerja hingga 15 jam perhari. Mulai dari mengerjakan segala kebutuhan rumah tangga, memberi pakan, membersihkan lingkungan sekitar tambak, hingga panen. 

Erna Leka, perempuan kelahiran Palembang adalah istri pembudidaya. Ia dan suaminya, Ainul Mukhlis masih berjuang untuk kehidupan yang lebih terang. 

Gelap gulita

Pukul 18.00 WIB, Erna Leka mesti menyalakan genset agar udang-udang yang dibudidayakan di tambaknya terus tumbuh sehat. Sejak PT. Aruna Wijaya Sakti mematikan akses listrik di Bumi Dipasena, sejak itulah keluarga-keluarga pembudidaya menikmati kegelapan.

Kami adalah warga negara Republik Indonesia dan dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.Namun belum menikmati terangnya kampung dan mudahnya budidaya udang seperti yang dirasakan oleh warga negara lainnya, ujar Erna sambiltersenyum. 

Erna Leka adalah perempuan pejuang pangandari Bumi Dipasena. Suaminya bekerja sebagai pembudidaya udang dan dipercaya untuk menjabat Sekretaris P3UW (Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang WinduWilayah Lampung). Sewaktu kecil, Erna tidak pernah bermimpi hidupnya akan dipenuhi dengan perjuangan. Selayaknya anak perempuan yang dibesarkan dikeluarga pekerja, ia bermimpi bisa mempunyai keluarga kecil yang bahagia.

Mimpinyaya jadi istri solehah, berjuang untuk keluarga, ya kalau sekarang jadi seperti ini saya juga bingung ya kenapa bisa begini, kenangnya. 

Pernikahannya dengan Ainul Mukhlis ataulebih dikenal dengan panggilan Pak Tanjung, telah membawa Erna Leka hijrah dari Palembang ke Lampung. Sepanjang mata memandang, hanya tanah kosong yang ditatapnya ketika pertama kali tiba di Kampung Bumi Dipasena. 

Jarak satu rumah ke rumah lainnya itu jauh-jauh. Awalnya sepi banget, dipikir gimana kami hidup ini. Tapi kita percaya sedang berusaha, kerja, ya ibadah. Jadi rasa sepi itu lama-lama berkurang dan kami seperti menemukan keluarga baru, ucapErna Leka gembira. 

Perusahaan yang pertama kali bekerjasama dengan pembudidaya di Rawajitu Timur adalah PT. Dipasena Citra Darmaja. Bisnisudang terbesar se-Asia Tenggara mulai dibangun sejak tahun 1988. Setahun kemudian mulai beroperasi pertambakan dengan pola Tambak Inti Rakyat. 

Pola Tambak Inti Rakyat merupakan pola kemitraan yang digunakan di Bumi Dipasena selama bertahun-tahun, di mana pembudidaya sebagai plasma dan perusahaan sebagai Inti. Kurang lebih 9000 pembudidaya menggarap 16.500 hektare lahan bekas rawa. 

Namun, tidak selamanya hubungan antara parapembudidaya Bumi Dipasena dengan perusahaan berjalan harmonis. Skema intiplasma yang diterapkan di Bumi Dipasena malah menjerumuskan para pembudidaya pada Deadly Bondage Slavery atau Perbudakan yang Mengikat dan Mematikan. Pembudidaya Bumi Dipasena tidak dapat menentukan sendiri harga jual udangnya,tidak diperbolehkan menonton telivisi dengan siaran tertentu, tidak diperbolehkan keluar masuk Bumi Dipasena tanpa persetujuan perusahaan.

Setelah PT. Dipasena Citra Darmaja,pembudidaya bekerjasama dengan PT. Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan PT.Central Proteinaprima. Perilaku perusahaan ini tidak jauh berbeda dengan pendahulunya.

Puncaknya tahun 2010, listrik kami dimatikan oleh perusahaan. Kami hidup gelap-gelapan, udang kami mati, rugi, sampai ada yang kena setrum, tambah Erna. 

Keadaan di Bumi Dipasena kian sulit, kemarau panjang di tahun 2015 membuat stok air bersih semakin berkurang. Mereka yang bergantung pada air hujan mulai berhemat. Tempat penampung air untuk wadah air hujan kian menyusut tiap harinya. Namun, jika mereka ingin mendapatkan air bersih, mereka harus membeli air dari Gunung Tiga dengan harga 1 kempu (1000 liter) dengan harga Rp 150.000. Air sebanyak 1000 liter hanya dapat digunakan selama 3 hari jika satu keluarga memiliki 2-3 orang anak. 

Gotong-royong

Di tengah permasalahan yang terjadi di Bumi Dipasena, perempuan pembudidaya memiliki peran penting. Ketika para pembudidaya berjuang, perempuan pembudidaya menjadi penyokong utama dalam kegiatan berbudidaya. 

Mulai dari membantu memberi pakan,membersihkan lingkungan sekeliling tambak dari rumput liar, hingga pada saatpanen. Kontribusi perempuan pembudidaya dalam menjalankan roda budidaya udangdi Bumi Dipasena merupakan satu-kesatuan dengan perjuangan P3UW. Perempuan menjadi jantung dalam gerakan mandiri bagi para pembudidaya di Bumi Dipasena. 

Ibarat kendaraan, P3UW (Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang Windu Wilayah Lampung) adalah organisasi penting bagi perjuangan pembudidaya di Bumi Dipasena. P3UW adalah corong perjuangan, hingga akhirnya kemandirian diraih pasca bercerai dari perusahaan. 

Ibu-ibu pembudidaya dan anak-anak itu selalu mau berada di garis depan kalau ada kegiatan aksi waktu itu, karena kami tahu semua harus diperjuangkan denganterhormat, cerita Erna Leka. 

P3UW dan para pembudidaya di Bumi Dipasena tidak pernah berjuang sendiri, Erna Leka percaya itu. 

Berjuang Bersama

Erna Leka mulai terlibat dalam kegiatan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) sejak tahun 2013. Perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena menjadi bagian gerakan perempuan nelayan di Indonesia. 

Kami berdiri bersama dengan perempuan nelayan yang tergabung di dalam PPNI, sama-sama mendorong pemerintah untuk mengakui keberadaan kami, urai Erna Leka.

Erna Leka sadar, belum ada satu kebijakan pun yang mengakui keberadaan dan peran perempuan pembudidaya. Di dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan belum memberikan pengakuan. 

Sebenarnya, diakui atau tidak diakui, kami tetap ada dan memenuhi kebutuhan pangan bangsa. Tapi kami sadar, itu hak kami, untuk diakui oleh negara dan difasilitasi setelah kami berjuang untuk bangsa ini, harap Erna Leka. 

Gelapnya malam tanpa penerangan di Bumi Dipasena hingga hari ini masih terjadi. Erna Leka masih berharap, para pemimpin tidak gelap mata terhadap nasib mereka.

Sanitasi dan adanya penerangan merupakan mimpi perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena. Namun, jika ditanya mimpi besar perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena, ia menjawab, Negara mau mengakui perempuan nelayan dan memastikan perempuan nelayan dilindungi dan diberdayakan

Mengutip penulis Rusia, Leo Tolstoy, Tuhan maha tahu segalanya, tapi Ia menunggu. Perjuangan perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena adalah proses panjang yang harus dilewati dan disyukuri.

Pejuang Pangan dari Lampung

Di Bumi Dipasena, perempuan pembudidaya memiliki peran penting dalam memastikan kebutuhan pangan keluarga. Jauhnya akses warga dari pusat kota menyebabkan perempuan harus memiliki pengetahuanpengelolaan pangan yang sehat dan bergizi. 

Hampir di seluruh Indonesia, ada kesalahan dalam mendefinisikan pangan sehat untuk keluarga. Banyak dari mereka hanya ingin yang simple saja, masak mie instan. Padahal mereka adalah pembudidaya udang bahkansesekali dapat ikan dari laut Ujar Erna. 

Panjang perjalanan advokasi yang telah ditempuh oleh petambak Bumi Dipasena telah mendorong Erna Leka mulai melirik potensi yang dimiliki di Bumi Dipasena. Salah satunya adalah potensi pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan petambak, yaitu membuat kerupuk,  camilan tradisional dan kerajinan tangan. 

Hal inilah yang membuat Erna mulai mendorong perempuan petambak di Bumi Dipasena untuk berkreasi dan memilikiekonomi alternatif lain selain berbudidaya udang. Sepanjang 2016, lebih dari 248 perempuan petambak mulai bergabung dalam kelompok-kelompok di bawah payung PPNI. Lebih dari 30 produk panganan berbahan dasar ikan, udang dan pangan lokal telah dihasilkan oleh perempuan pembudidaya. 

Produk-produk yang dihasilkan bukan hanya dapat dikonsumsi oleh keluarga pembudidaya, namun juga mulai dipasarkan di Pasar Rawajitu, Tulang Bawang, Lampung. Pemasaran produk telah mencapai meja gubernur Tulang Bawang, hal ini merupakan salah satu upaya Erna dalam memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Bumi Dipasena. 

Erna menambahkan Pengetahuan perempuan itu banyak dan kreatif, namun wadahnya kurang untuk menaungi hal tersebut. Oleh karena itu, saya menggerakkan perempuan pembudidaya untuk memastikan keluarga di rumahnya tidak kekurangan pangan bergizi. Tidak perlu yang instan-instan, yang sederhana tapi sehat itu lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun