Mohon tunggu...
Susan Budhi Utomo
Susan Budhi Utomo Mohon Tunggu... Freelancer - Being a blogger is the way to heaven ^_^

The world is so big but life is too short

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keinginan Terakhir Ibu

18 Januari 2024   08:12 Diperbarui: 18 Januari 2024   08:20 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tinggal dengan ayah dan ibu sambungku sejak orang tua kandungku berpisah karena ibu kandungku tinggal berpindah-pindah di luar negeri untuk bekerja di salah satu badan  organisasi PBB, saat itu aku kelas 1 Sekolah Dasar. Sejak aku mempunyai surel sendiri, aku dan ibu sering berkomunikasi lewat surel dan aku selalu antusias menunggu kabar darinya. Tiap 6 bulan ibuku pulang ke Jakarta dan biasanya aku dan ibu akan menginap di hotel, kadang kami berdua menyewa mobil piknik ke luar kota sekitar Pulau Jawa, paling jauh ke Pulau Bali dan Lombok. Aku diberikan kartu ATM oleh ibu sejak aku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama, tiap bulan ibu selalu transfer ke rekeningnya.


Saat aku duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Atas, baru ibu mampu membeli apartemen kecil dipinggiraan kota Jakarta yang menjadi tempat kami menginap tiap dia pulang ke tanah air. Sesekali aku datang membersihkannya saat ibu sedang di luar negeri. Setelah selesai kuliah dan bekerja, baru aku bisa mengunjungi ibu di luar negeri karena sebelumnya tidak pernah mendapat ijin dari ayah. Sejauh ini sudah 2 kali aku mengunjungi tempat tugas ibu di luar negeri, kunjungan pertama saat ibu bertugas di kota Brussel, ibu kota negara Belgia dan yang kedua, saat ibu bertugas di kota Marakesh, salah satu kota di negara Maroko.


Ibuku memang bukan seperti perempuan  kebanyakan,  dia dibesarkan di panti asuhan dan bisa melanjutkan kuliah sampai perguruan tinggi dengan beasiswa karena prestasi akademinya. Ibu bertemu pertama kali dengan ayahku untuk urusan pekerjaan di salah satu kota di Eropa, dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan ayahku, "Tapi pernikahan berbeda dengan cinta An, pernikahan hal yang serius dan menyakitkan bahkan untuk perempuan bangsawan di negara maju seperti Lady Diana sekalipun",   An adalah singkatan nama depanku "Anna",  katanya memberi contoh sekaligus menghibur dirinya sendiri tiap kami membicarakan hubungan antara lelaki dan perempuan. Ibu selalu mempunyai jawaban  yang diluar dugaan untuk setiap hal, tidak ada orang yang seperti ibu. 


Cara pandang dunia Ibu  mungkin tidak bisa diterima oleh orang yang berpikiran konservatif, ibuku boleh dibilang seorang "science oriented", semua realitas harus absolutis dan logis , "Ilmu pengetahuan sudah dapat menjawab semua misteri alam semestas, An" katanya dengan sangat percaya diri saat kami membahas tentang berbagai situasi dunia saat ini. Bahkan ayahku yang mempunyai gelas master hukum dari luar negeri, kewalahan menghadapi ibuku sehingga dulu dia berpaling dengan perempuan lain yang mungkin menurutnya lebih normal. Dulu mungkin ayah berpikir ibu akan mudah dijinakkan karena sebatang kara dan ibu menganggap ayah sudah mengerti dirinya karena berani mengajaknya menikah tapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan.


Sekarang kami lebih sering berkomunikasi lewat WA dan aku sudah berjanji akan merayakan malam tahun baru 2024 bersama ibu yang akan liburan ke Jakarta dan akan menjemputnya di Bandara Cengkareng tanggal 25 Desember 2023. Kali ini ibu bersikeras ingin menghabiskan akhir tahun bersamaku, biasanya dia pulang saat low season atau bukan musim liburan karena harga tiket pesawat lebih murah dan ibu tidak peduli dengan hari-hari penting yang berbau tradisi dimana biasanya orang berkumpul bersama keluarga karena latar belakangnya tapi ibu tidak pernah minder dan tidak pernah sekalipun dia mengutuk nasibnya "Saat kau merasa tidak menyukai dirimu lagi, kau harus belajar menyukainya karena kau terjebak didalamnya" aku sering mendengar ibu menyanyikan lirik lagu itu yang berirama balad campur hip hop  yang aslinya dalam bahasa Inggris dan ibu tidak pernah memberikan jawab jelas tiap aku bertanya penyanyi aslinya, bisa jadi lirik itu gubahan dia sendiri. 


Tubuhnya walau tidak bisa dibilang langsing, masih fit dan menarik untuk perempuan usia 55 tahun dan kulitnya masih sehat untuk perempuan seusianya, mungkin karena dia anti merokok dan selalu menjaga pola makanan sejak masih muda dan sampai sekarang rutin jogging disela kesibukannya, rambutnya yang sebahu disemir warna kopi dibiarkan tergerai, dia mengenakan celana panjang jeans warna biru pudar dipadukan dengan atasan kemeja lengan pendek berwarana hitam tanpa kerah degan syal bercorak bunga melindungi lehernya dan mengenakan sepatu boot kulit warana abu-abu yang sudah menemaninya bertahun-tahun, kosmetik di wajahnya masih jelas walau  telah menempuh perjalanan hampir 15 jam dari Amman, ibu kota negera Yordania dan transit sekali di kota Doha, ibukota negara Qatar.


Tangan kanannya memegang gagang koper berwarna hitam dan lengan kirinya mengapit mantel berwarna merah marun. Ibu memelukku sambil mencium pipiku, kebiasaan yang selalu dilakukannya, saat kami bertemu di Terminal 3 Bandara Cengkareng yang penuh sesak karena sedang musim liburan. Aku mencium aroma Cannel no.5, parfum favoritnya saat berjalan disisinya menuju tempat parkir mobil. " Wow, ini mobil dokter ya? ibu menggodaku sambil membuka pintu mobil depan yang baru aku kredit selama 6 bulan. "Yaa ini lumayan kan... walau belum bisa beli jenis mobil seperti punya ayah" aku membalasnya sambil bercanda dan menyalakan mesin mobil menuju apartemen ibu.


"Mayat dikubur, dikremasi, dibalsem, diisolasi, tujuannya sama agar tidak merugikan orang yang masih hidup`!" suara ibu meninggi saat aku menolak keinginannya untuk dikremasi setelah dia meninggal. "Tapi Bu di Indonesia mempunyai undang-undang, tiap orang yang meninggal harus dimakamkan sesuai identitas di KTP" aku menjelaskankannya tanpa ragu-ragu karena bila beragumen dengan ibu harus logis. "Tapi pasti ada cara lain An, mungkin ibu bisa membuat surat wasiat sehingga kuat secara hukum" suara ibu melunak karena sadar aku mulai emosi. "Ibu melakukan ini agar tidak  merepotkan kamu nanti, biaya sewa pemakaman besar dan harus dibayar tiap tahun, kemudian kamu harus menggaji tukang kebun disana untuk merawat makam yang akan menjadi biaya tambahan dan bila berhenti membayar bisa jadi makam akan ditindih dengan makam baru yang lain" ibu menjelaskan panjang lebar untuk mempengaruhi opiniku.

Ternyata ibu pulang ke Jakarta kali ini karena ingin menyampaikan keinginannya tentang cara pemakaman bila kelak dia meninggal dengan alasan tidak ada yang tahu kapan tiap orang akan meninggal apalagi tahun depan usia ibu sudah 56 tahun dan dia tidak pernah tahu riwayat kesehatan orang tua atau kerabat yang bisa dijadikan referensi, "Nanti setelah dikremasi, kamu bisa menyimpan abunya di dalam guci dan disimpan di kamar ini sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyewa tempat lagi", aku mengangguk-angguk mendengar penjelasannya karena tidak mau berdebat lagi malam ini.

Tak lama kemudian, kudengar suara nafas ibu berderu halus, tanda dia sudah pulas. Aku naikkan selimut lebih atas ke dadanya dan aku seperti melihat dia tersenyum dalam tidur karena mungkin lega telah mengungkapkan keinginanya yang terakhir kepada anak satu-satunya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun