Suatu hari waktu pulang kampung, saya bersama anak saya yang sudah remaja lewat di depan tukang cukur langganan saya sejak SD.
"Nak, itu dulu tukang cukur langganan ayah," sahut saya.
"Oya," sahut anak saya, saat lewat di depan ruko sederhana tempat tukang cukur tadi.
Saya pun bertanya, "Sejak ayah SD sampai sekarang, dia tetap jadi tukang cukur. Sementara ayah sekarang sudah berubah, tinggal di kota dan punya penghasilan yang lebih baik. Kira-kira apa yang jadi pembeda?"
Anak saya terlihat mulai berpikir. Namun, sebelum dia menemukan jawaban, akhirnya saya jawab sendiri.
"Pendidikan," sahut saya.
Saya termasuk salah satu orang yang beruntung, mampu mengenyam pendidikan tinggi, walaupun orangtua harus berutang kanan-kiri. Pinjam dari bank sampai koperasi. Kenyataan itu tak menyurutkan semangat saya dan orang tua agar saya bersekolah lebih tinggi demi masa depan nanti.
Saya termasuk orang yang bisa mengenyam pendidikan tinggi karena pinjaman, karena utang.
Dikotomi utang
Ada sebersit rasa malu dan kehormatan jika berutang, karena menurut sebagian orang Indonesia "utang yah tetap utang". Mau disebut pinjaman pendidikan, pinjaman lunak, pinjaman DP 0 persen, tetap saja disebut utang.
Persepsi masyarakat Indonesia terhadap utang sangat beragam dan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional, agama, dan kondisi sosial-ekonomi, bahkan pendidikan finansial atau literasi keuangan.