Seminggu yang lalu anak saya yang masih duduk di kelas lima SD bertanya, saat itu kami sekeluarga sedang duduk mengobrol tentang bahaya jika makan mi instan terlalu berlebihan.
“Ayah, kenapa kalo gak sehat, orang-orang masih tetap makan mi instan?” tanyanya diliputi rasa penasaran.
“Kalo gak sehat, kenapa masih di jual?” sambungnya kemudian tanpa menyisakan kesempatan bagi saya untuk menjawab.
Siapa yang tak suka makan mi instan, dari anak kos sampai bos, dari orang kaya sampai rakyat jelata, nampaknya semua suka mi instan. Betul deh, bagi orang Indonesia, makanan ini begitu populer. Di beberapa tempat malah dibuat sebagai makanan pokok.
Kemudian, yang tak kalah populer lagi, masyarakat Indonesia sering menambahkan nasi pada hidangan mi instan.
Dari warung pinggir jalan sampai restoran, mi instan sudah biasa dijajakan. Mi instan kadang dimakan dengan tambahan sayuran dan makanan olahan lainnya.
Mulai dari warung indomie (warmindo) atau warung burjo (bubur kacang ijo) di pinggir jalan, mereka biasa menambahkan telur dan sayur Sawi pada hidangan mi instan sampai dengan tambahan bakso, sosis, daging kornet, jamur atau topping keju di restoran-restoran.
Harganya yang murah memang penolong di masa susah. Cukup mengeluarkan uang lima ribu rupiah, perut lapar tak bertambah parah.
Mi instan mudah didapatkan dimana-mana, di warung kelontong sebelah rumah bahkan sampai supermarket yang tergolong mewah. Semua ada.
Saya termasuk orang yang selalu membatasi keluarga untuk makan mi instan. Jikapun harus makan mi instan, hidangannya dicampur dengan macam-macam sayuran, seperti sayur Sawi, Pokcoy sampai Toge. Agar lebih nikmat saya biasa menambahkan bawang goreng.