Mohon tunggu...
Muhammad Surya Abadi
Muhammad Surya Abadi Mohon Tunggu... Lainnya - Konstultan Media

Tulisan mengenai fenomena sosial politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dikotomi Dalam Organisasi Islam Mahasiswa

29 April 2014   04:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 2624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Indonesia memiliki populasi umat muslim terbanyak di dunia.  Islam menjadi agama mayoritas di indonesia dan indonesia memiliki banyak pemikir islam dan ilmuwan islam yang luar biasa.  Ahmad Wahib, Cak Nur, Gus Dur, hingga Felix Siauw.  Organisasi keisilaman pun tumbuh dengan subur, seperti Front Pembela Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Himpunan mahasiswa Islam, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim.  Organisasi tersebut kemudian tumbuh subur di Indonesia dengan ribuan anggotanya.  Pemikir, organisasi islam, dan komunitas islam kemudian memiliki jalan pikir yang berbeda-beda tentang konsep pemikiran, dalam hal ini penulis akan berfokus pada organisasi islam dalam lingkup mahasiswa yaitu Himpunan mahasiswa Islam (HMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Secara mendasar kedua organisasi ini adalah organisasi mahasiswa dalam tingkatan nasional dan memiliki cabang-cabang di tanah air.  Melihat sejarah HMI telah ada sejak tahun 1947 ketika Lafran Pane dkk kemudian mendirikan himpunan mahasiswa.  Kemudian, seiring dengan dinamisasi HMI dimasa orde baru, HMI mengalami banyak konflik dengan institusi pemerintah dan distrus dari masyarakat.  konflik dengan pemerintahan orde baru bermula ketika HMI berpindah haluan menjadi organisasi yang berazaz Pancasila dan sebagian memilih tetap pada azaz islam.  Kemudian lebih jauh perpecahan ini menciptakan dua organisasi baru yaitu HMI dan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).   Gejolak mahasiswa pada tahun 1998, dan HMI kehilangan legitimasi dari sebagian simpatisan mahasiswa muslim, membuat HMI mendirikan sister organization yaitu KAMMI.

KAMMI yang  kemudian menjadi sister organization dari HMI untuk merangkul mahasiswa yang islam dan bertujuan untuk menyukseskan penjatuhan Soeharto.  KAMMI yang khas dengan ke-islam-an yang fanatis kemudian sukses menggalang partisipasi mahasiswa muslim untuk berperan dalam demo mahasiswa tahun 1998.  Reformasi berjalan hingga saat ini dan KAMMI pun terus tumbuh dengan haluan islam fanatis, sesuai dengan konsep awal pembentukan sister organization.

KAMMI kemudian menjadi organisasi nasional, sama seperti HMI, dan memiliki anggota mahasiswa/i muslim di seluruh Indonesia.  KAMMI juga memertahankan ideologisnya sebagai, penulis akrab menyebutnya dengan, islam ortodoks.  Essay ini, secara lebih rinci, akan membahas KAMMI dan HMI dan hubungannya dengan multikultur di dalam dunia mahasiswa islam.  Meskipun kemampuan penulis dalam memberikan analis dan mendeskripsikan kasus yang ada sangat terbatas, namun diharapkan essay ini dapat menyadarkan pembaca bahwa  konsep multikulturalisme sendiri bahkan belum ada di dalam keragaman pemikiran islam.  Secara lebih rinci penulis akan memilih KAMMI dan HMI cabang purwokerto agar pembahasan essay ini lebih terfokus pada sebuah kasus.

Seperti yang telah dijelaskan KAMMI memiliki pemikiran yang lebih fanatis dengan islam.  Berbeda dengan KAMMI, HMI justru memiliki level ke-islam-an yang lebih moderat ketimbang sister organization-nya.  Bagi penulis perbedaan soal ke-islam-an seseorang atau sebuah organisasi menjadi sebuah hal bersifat personal.  Seperti yang dikemukakan John Locke bahwa agama dan negara sudah semestinya dipisahkan.  Begitu juga penulis memandang bahwa permasalahan ke-islam-an sudah sepantasnya menjadi persoalan internal organisasi atau urusan personal.  Namun kemudian justru hal semacam ini yang menjadikan adanya gap antara KAMMI dan HMI khususnya di daerah Purwokerto.

Penulisan essay ini menjadi penting untuk dikaji dan dilakukan penelitian lebih lanjut karena beberapa hal.  Pertama, meneliti dikotomi KAMMI dan HmI kemudian dapat menunjukan bagaimana level multikulturalisme pada mahasiswa islam.  Kedua, kajian dalam essay memudahkan bagi para pembaca untuk memberikan prediksi hubungan antara kedua organisasi tersebut dimasa mendatang, terutama cabang Purwokerto.  Berangkat dari dua hal tertesbut penulis berharap topik dalam essay ini dapat menjadi media refleksi diri kita sebagai umat muslim atau non-muslim.

Islam telah masuk ke dalam banyak organisasi diberbagai level kehidupan.  Islam yang dibawa pun memiliki beragam jenis dan aliran.  Seperti islam yang ada di dalam tubuh HMI dan KAMMI memiliki perbedaan yang menurut penulis cukup mendasar, yaitu ritual.  Bagaimana hal ini menjadikan dua buah organisasi besar ini menjadi ciri khas tertentu untuk membedakan keduanya.  Hal yang menarik untuk diketahui adalah bagaimana dua buah organisasi yang sama-sama dengan notaben organisasi islam namum berbeda secara prinsip.

KAMMI seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan sister organization dari HMI dan KAMMI memiliki tipikal organisasi yang sangat taat dengan kaedah islam.  Hal ini kemudian yang terlihat dari bagaimana anggota dari KAMMI, baik pria dan wanita, menggunakan pakaian yang tidak menunjukan lekuk tubuh.  Hal lain yang dapat diperhatikan adalahbagaimana kajian yang ada di dalam KAMMI kental dengan syari’at islam dan cukup jarang membahas tentang kajian non-islamisme.  Ditinjau dari kultural KAMMI pun juga memiliki aturan dalam tata cara pergaulan antara pria dan wanita yang dipandang sebagai aturan ketat dan harus dipatuhi.

HMI meski menyandang sebagai organisasi islam, HMI cenderung memiliki kebebasan dalam berpikir dan berinterkasi di dalam kajian-kajian keilmuwan.  HMI cenderung membebaskan pemikiran para anggotanya dengan membebaskan para kadernya untuk mengaji beragam hal yang bersifat interdisipliner.  Kemudian HMI dikenal sebagai organisasi islam yang cenderung “liberal” dalam pemikiran dan perilaku.  HMI pun tidak begitu mempermasalahkan persoalan ibadah dan persoalan hubungan laki-laki dan perempuan, HMI memosisikan para kadernya sebagai manusia yang telah dewasa dan bebas dalam berislam sehingga tidak begitu nampak aturan yang tegas mengenai ritual ibadah dsb.

Penulis berusaha menarik korelasi kedua organisasi ini ke dalam dunia politik.  Maka timbulah pertanyaan bagaimana bahasa kemudian berfungsi signikan di dalam kehidupan politik ? penulis mencoba membatasi kerangka kehidupan politik pada politik kampus.  HMI dan KAMMI tentu memiliki perbedaan termasuk dalam membahasakan kepentingannya.  Bagi penulis bahasa yang dimiliki HMI dan KAMMI menjadi sangat penting untuk kepentingan politik kampus seperti di kala pemilihan raya (PEMIRA) UNSOED.  Sehingga bahasa bagi kedua organisasi kampus ini menjadi media yang tepat untuk meraih suara dalam PEMIRA.  Bahasa dan retorika adalah media yang penting bagi kedua organisasi ini untuk mendapatkan kekuasaan di dalam lingkum kampus yaitu badan eksekutif mahasiswa.

Bagi penulis apa yang dimiliki kedua organisasi islam ini adalah sebuah identitas yang melekat di dalam organisasi tersebut.  Penulis menyadari keduanya merupakan organisasi islam, namun ternyata islam masih dapat dibagi dalam beragam perspektif pemikiran dan perilaku.  Penulis menganggap perbedaan yang dimiliki HMI dan KAMMI komisariat Purwokerto menjadi identitas tersendiri dan memudahkan orang luar organisasi tersebut untuk mengidentifikasi kedua organisasi mahasiswa islam tersebut.  Namun di Purwokerto masih terdapat permasalahan diantara kedua organisasi ini yaitu persoalan multikulturalisme.

Permasalahan ini memang telah menjadi masalah klasik HMI dan KAMMI komisariat Purwokerto.  Kedua organisasi ini belum memiliki level multikulutralisme yang tinggi ketika saling berinteraksi.  Hal ini menunjukan bahwa organisasi islam di Indonesia saat ini baru menyentuh level pluralitas dimana diversitas organisasi telah ada namun toleransi antar organisasi atau multikulturalisme belum tumbuh.

Bagaimana penulis kemudian dapat menyimpulkan kedua organisasi tersebut demikian ?  hal ini terlihat dari bagaimana kedua organisasi memberikan label buruk satu sama lain.  Di dalam dunia politik kampus, kedua organisasi ini juga belum simbiosis mutualisme dalam melakukan serangkaian kegiatan.  Beberapa contoh pluralitas adalah tidak menghargai saling meghargai jalan ke-islam-an yang dijunjung kedua organisasi ini.  Menurut penulis, hal ini cukup menyedihkan terjadi ditengah pluralitas yang ada di tengah organisasi yang berbasis spiritualisme.

Kemudian pertanyaan yang menarik untuk dikaji adalah seberapa pentingkah bahasa  dalam kelangsungan kehidupan sosial dan politik manusia ? dalam hal ini penulis berusaha membahas dalam kelangsungan kehidupan KAMMI dan HMI.  Bahasa adalah hal yang sangat penting bagi kedua organisasi ini dalam rangka untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan tertentu.  Bagi penulis bahasa merupakan media untuk menyampaikan posisi organiasi tersebut baik secara audio atau visual.  Bahasa juga menjadi sangat penting dalam eksistensi kedua organisasi tersebut, dengan berbahasa maka sejatinya kedua organisasi tersebut tengah menjamin eksistensi mereka tetap berjalan.  Oleh karena itu menjadi wajar jika kedua organisasi islam ini sering mengadakan acara atau propaganda yang dalam rangka membahasakan kepentingan mereka.

Fenomena pluralisme dan belum tersentuhnya multikulturalisme di dalam HMI dan KAMMI komisariat Purwokerto menunjukan adanya kelemahan dalam berpolitik dalam lingkup politik kampus.  Oleh sebab itulah mengapa dibutuhkannya satu pemahaman tentang bahasa dalam kehidupan politik.  Kesepemahaman bahasa menjadi sangat penting untuk saling mengakomodasi kepentingan masing-masing organisasi tersebut.  Dengan sebuah pemahaman tentang pembahasaan maka tahapan menuju organisasi yang multikulturalisme pun menjadi lebih mudah.

Maka kita telah berbicara tentang bahasa dan politik dalam kehidupan manusia.  Menurut penulis tokoh bahasa dan politik yang sangat berpengaruh adalah John. E. Joseph.  hal ini dikarenakan ia berpendapat ini bergantung pada bagaimana kita menggunakan bahasa untuk memanage kehidupan keluarga hingga negara. Bagi penulis pendapat Joseph memiliki korelasi dengan dikotomi antara KAMMI dan HMI di Purwokerto.  Korelasinya adalah bagaimana semestinya kedua organisasi ini bisa mendesain bahasa mereka agar kepentingan organisasinya tercapai meskipun saat keduanya saling berinteraksi.  Implikasi lebih jauhnya adalah dikotomi kedua organisasi mahasiswa islam ini tidak perlu terlalu luas.

Pada akhirnya dikotomi di antara kedua organisasi islam ini, menurut penulis menjadi sangat disayangkan.  Hal ini karena kedua organisasi ini, jika melihat sisi sejarah, memiliki awal yang sama yaitu HMI sehingga ada kemungkinan kesepahaman konsepsi pemikiran.  Jika melihat dari esensi organisasi, keduanya merupakan organisasi islam yang telah ada di lingkup nasional sehingga adanya dikotomi justru menumpulkan kelebihan masing-masing.

Dikotomi berlebih di kedua organisasi islam ini kemudian juga menunjukan ketidakdewasaan generasis muda bangsa indonesia dalam berpolitik.  Bagi penulis embrio dikotomi ini jika dibiarkan hanya akan membentuk fraksi-fraksi yang makin bersebrangan dimasa mendatang.  Hal ini juga menunjukan begitu lemahnya generasi muda dengan penghormatan terhadap perbedaan, meski dalam lingkup religius.  Ekspektasi lebih lanjut adalah kemungkinan adanya perang saudara yang mengancam stabilitas negara jika dikotomi antar organisasi mahasiswa telah dipelihara sejak awal.

Pada akhirnya peran seorang ilmuwan politik dalam menghadapi proses bahasa dan politik ditengah pluralitas organisasi mahasiswa islam dituntut untuk  konkrit.  Menurut penulis bahasa dan politik merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena esensi dari berpolitik adalah membahasakan atau mengomunikasikan ide-ide seputar permasalahan.  Sehingga parsialisasi bahasa dan politik, menurut orang awam, adalah hal yang salah.  Karena pada faktanya politik bisa lahir dikarenakan adanya ketidaksetujuan suatu kelompok dan mencoba membahasakannya kepada kelompok lain.  Andai proses esensial bahasa dan politik bisa dipraktikkan dengan baik maka dikotomi antar organisasi, bahkan organisasi yang secara spiritual sejalan, tidak perlu terjadi.

Pada tahun 1966 orde baru berusaha menyatukan semua perspektif organisasi di Indonesia dengan azaz tunggal, pancasila.  sebagian besar anggota HMI kemudian setuju mengganti azaz HMI menjadi pancasila, namun sebagian lagi tetap pada azaz islam yang kemudian dikenal dengan nama MPO.

(Sejarah berdirinya KAMMI)

Diambil dari presentasi power point language and politics oleh John E. Joseph.  Universiitas Edinburgh. 2006

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun