Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenapa Paman yang Baik itu Tetap Miskin @KompasianaDESA

2 Februari 2025   13:54 Diperbarui: 2 Februari 2025   14:00 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, di ruang tamu rumah sederhana mereka, Dika duduk di antara ayah dan ibunya. Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar saat ia mulai bercerita.

"Ayah, Ibu... Aku merasa sedih melihat Paman. Beliau hidup serba kekurangan, tapi tetap saja membantu orang-orang di desa. Dia mengajarkan mereka cara bertani yang baik, merawat ternak, dan membudidayakan ikan. Sekarang, sawah mereka hijau subur, ternak mereka gemuk, dan ikan mereka melimpah. Tapi... mereka bahkan tak pernah peduli pada Paman."

Ayah menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada datar, "Itu salah Pamanmu sendiri. Mau berbagi ilmu tapi tidak meminta imbalan. Hari gini berbagi ilmu gratis? Itu namanya bodoh."

Dika terkejut mendengar jawaban ayahnya. Ia menoleh ke ibu, berharap mendapatkan jawaban yang lebih menenangkan. Ibu tersenyum lembut dan mengusap kepala Dika.

"Nak, berbagi ilmu itu tidak membuat seseorang miskin. Justru, memberi manfaat kepada orang lain adalah amal yang baik."

"Tapi Bu, lihatlah Paman... Ia kekurangan, sementara mereka yang dia bantu malah hidup berkecukupan," sahut Dika dengan nada getir.

Ibu menatapnya penuh kasih. "Yang bodoh bukan Pamanmu yang berbagi ilmu, Nak. Yang bodoh adalah mereka yang mendapat manfaat tapi tidak peduli pada orang yang membantu mereka."

Dika terdiam. Ia mencoba memahami kata-kata ibunya. Ayah yang sejak tadi mendengar pun akhirnya bersuara, kali ini dengan nada lebih lembut. "Ibumu benar, Dika. Seharusnya, orang-orang yang sudah terbantu sadar dan ikut berbagi."

Dika termenung. Ia teringat bagaimana pamannya, Pak Rudi, selalu tersenyum meskipun hidupnya serba kekurangan. Sejak dulu, Pak Rudi tidak pernah menolak membantu siapa pun yang bertanya tentang cara bercocok tanam, merawat hewan ternak, atau membudidayakan ikan. Padahal, rumahnya kecil dan hampir roboh, pakaiannya lusuh, dan ia sering kali makan seadanya. Namun, senyum itu selalu ada di wajahnya.

Dika pernah mendengar percakapan para petani di desa. Mereka memuji hasil panen yang semakin melimpah, ayam dan sapi yang sehat, serta keuntungan yang mereka dapatkan. Tapi tidak satu pun dari mereka menyebutkan nama Pak Rudi. Seakan semua keberhasilan itu datang begitu saja, tanpa ada orang yang berjasa di baliknya.

Suatu hari, Dika melihat Pak Rudi duduk sendirian di depan rumahnya yang reyot. Tangannya yang kasar sedang memperbaiki kandang ayam yang mulai lapuk. Wajahnya tetap tenang, tapi Dika bisa merasakan kelelahan yang terpancar dari matanya.

"Paman, apa Paman tidak pernah merasa sedih?" tanya Dika perlahan.

Pak Rudi tersenyum tipis. "Sedih? Untuk apa, Nak?"

"Paman sudah membantu banyak orang, tapi tidak ada yang peduli pada Paman," ujar Dika dengan suara lirih.

Pak Rudi menghela napas. "Dika, kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi tentang seberapa banyak yang bisa kita berikan. Paman berbagi ilmu bukan untuk mendapat balasan, tapi karena Paman ingin orang-orang di desa ini hidup lebih baik."

Dika menggigit bibirnya. Kata-kata Paman begitu dalam. Namun, ia tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang sudah terbantu bersikap seolah-olah Pak Rudi tidak ada.

Malam itu, setelah berbincang dengan ayah dan ibu, hati Dika semakin berat. Ia merasa ada yang tidak adil. Keikhlasan Paman seolah tidak berarti di mata warga desa. Tak ada yang tergerak untuk membantu atau sekadar mengucapkan terima kasih.

Esok paginya, Dika berjalan keliling desa. Ia berbicara dengan beberapa petani dan peternak, menanyakan apakah mereka ingat siapa yang telah mengajari mereka teknik bertani dan beternak yang baik. Beberapa orang hanya tersenyum samar, ada yang bahkan berkata, "Oh, itu sudah lama, saya sudah bisa sendiri sekarang."

Dika semakin kecewa. Ia kembali ke rumah dengan wajah muram.

"Bagaimana, Nak?" tanya Ibu lembut.

Dika menggeleng. "Mereka tidak peduli, Bu. Seolah Paman tidak ada. Seolah semua yang mereka dapatkan itu hasil usaha sendiri."

Ibu tersenyum, kali ini dengan tatapan penuh arti. "Kita memang tidak bisa mengubah hati semua orang, Nak. Tapi kita bisa memulainya dari diri kita sendiri."

Dika terdiam. Ia tahu maksud ibunya. Jika orang lain tidak peduli, maka ia sendiri yang harus menunjukkan kepedulian itu.

Beberapa hari kemudian, Dika mulai sering mengunjungi Pak Rudi. Ia membantu membersihkan kandang, ikut menanam sayur, bahkan menemani Pak Rudi makan di teras rumahnya yang sederhana. Sedikit demi sedikit, beberapa orang mulai menyadari apa yang dilakukan Dika. Mereka mulai bertanya tentang keadaan Pak Rudi, dan perlahan ada yang datang membawa makanan atau bahan bangunan untuk memperbaiki rumahnya.

Tidak butuh waktu lama sebelum para petani dan peternak yang pernah belajar dari Pak Rudi mulai merasa malu. Mereka akhirnya sadar betapa besar jasa Pak Rudi bagi mereka. Dengan sukarela, mereka mengumpulkan hasil panen dan ternak untuk membantu kehidupan Pak Rudi.

Ketika semua itu terjadi, Dika kembali tersenyum. Ia belajar bahwa perubahan tidak bisa dipaksakan, tapi bisa dimulai dari satu hati yang peduli. Dan yang lebih penting, ia mengerti bahwa berbagi, baik itu ilmu maupun rezeki, adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Sebab, dunia ini akan lebih baik jika manusia saling mengingat jasa dan berbagi kebaikan satu sama lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun