Mbah Manten menghela napas panjang. “Karena mereka masih anggap kades ini bodoh dan tukang korupsi.” senyum sinis mbah manten menyertai omongannya
Sutarjo mengangguk. “Pendamping desa juga pada ngga paham kalo ditanya, Mbah.”
“Itulah nasibmu. Nggak ada yang bimbing, tapi banyak yang ngawasi.”
Hening sejenak. Hanya terdengar suara Mbok Darmi yang sibuk menggoreng tempe dan pelanggan lain yang asyik berbincang.
Mbah Manten menepuk bahu Sutarjo dengan penuh arti. “Ingat, kades itu orang pilihan. Kamu adalah dalang yang bisa ngatur wayang. Semua ada di tanganmu. Mengatur bukan hanya soal aturan, tapi juga seni. Seni menjaga hubungan, seni mengatur anggaran, dan seni bicara.”
Sutarjo termenung. Ia memahami maksud Mbah Manten. Jadi kepala desa bukan hanya soal membangun jalan atau membuat laporan ke pusat, tapi juga bagaimana menjaga hubungan dengan semua pihak agar pembangunan bisa berjalan lancar tanpa gangguan yang tak perlu.
Mereka terus mengobrol, membahas rencana pembangunan desa, kebutuhan warga, hingga strategi menghadapi aturan-aturan baru. Kopi di cangkir mereka tinggal ampas, gorengan di piring pun sudah habis.
Saat matahari mulai condong ke barat, Mbah Manten bangkit dari duduknya. “Sudah, Jo. Ingat yang aku bilang tadi. Dalang yang baik bukan yang sekadar memainkan wayang, tapi yang bisa mengendalikan cerita sampai tuntas tanpa gaduh.”
Sutarjo tersenyum. “Siap, Mbah. Saya belajar dari yang sudah pengalaman.”
Mbah Manten menepuk pundaknya sekali lagi. “Bagus. Kades harus cerdas, bukan cuma pusing.”
Dengan langkah santai, mereka meninggalkan warung Mbok Darmi, sementara obrolan sore itu masih terngiang di benak Sutarjo. Dalam benaknya ada yang masih menganjal, ngga diganggu wartawan dan LSM kalo diganggu Polisi dan Jaksa apa ngga lebih repot? semoga semua jaksa dan babinkamtibmas orang orang baik yang benar benar mendampingi bukan ngrecoki.