Budi mengangguk sambil menyeruput kopinya. "Iya, kasus kayak gitu sering banget terjadi. di Kohot itu kan dari dulu pernah ada cerita  permainan tanah. Kades sebelumnya kena kasus pemalsuan dokumen lahan, gegara dilaporkan LSM."
"Jadi Kohod itu semacam sarang mafia tanah, ya?" Doni bertanya dengan nada retoris.
"Nggak juga, ngga cuma di Kohod Masalah tanah itu kan selalu urusannya sama dua hal: penguasa dan pengusaha. Yang punya kuasa biasanya nggak akan segan-segan pakai tangan ormas atau LSM buat intimidasi, nanti dilanjut dipanggil aparat, kades ya pasti takut dan nurut . Yang punya duit, ya jelas mau segalanya lancar tanpa hambatan. mereka haus lahan."
"Bondowoso banget. Perpaduan yang punya bondo dan yang punya kuasa. Tambah parah lagi kalo ada yang punya senjata ikut di dalamnya" Doni terkekeh kecil, meski nada suaranya penuh sindiran.
Budi tersenyum tipis. "Iya, Don. Urusan tanah itu rumit. Apalagi kalau sudah melibatkan aparat hukum. Kadang mereka malah ikut bermain di balik layar. Yang namanya kekuasaan itu nggak pernah berdiri sendiri."
"Dan nggak mungkin cuma di Kohod. Pasti di banyak tempat juga ada permainan semacam ini, kalo sudah urusan sama pengembang baik di darat maupun laut. Tanah itu selalu jadi rebutan."
Pembicaraan mereka terus mengalir, sesekali diselingi tawa kecil atau komentar sinis tentang realitas yang semakin hari terasa makin suram. Tapi waktu tak bisa diajak kompromi. Pengeras suara stasiun mulai mengumumkan panggilan untuk keberangkatan kereta mereka.
"Perhatian kepada seluruh penumpang kereta api Taksaka menuju Yogyakarta, harap segera memasuki gerbong masing-masing. Kereta akan segera diberangkatkan."
Budi dan Doni buru-buru mematikan rokok mereka dan menyiapkan barang bawaan. "Kita di gerbonng yang samakah, Don. Kamu di nomor berapa?" tanya Budi.
"Gerbong tiga. Kamu?"
"Aku di lima. Ya udah, Don. Kita sambung lagi kapan-kapan, ya!"