Namun, pembicaraan mereka tak berhenti. Pak Narto melanjutkan, "Kalau menteri-menteri itu bisa harmonis, kita pasti nggak bingung begini. Coba bayangkan, visi besar Presiden Prabowo soal ketahanan pangan itu kan untuk rakyat, termasuk desa. Tapi kalau implementasinya nggak rapi, ya sama aja bohong."
Pak Arif mengangguk sambil menyeruput jeruk manisnya. "Benar itu. Desa ini kayak anak yang punya bapak, yaitu Presiden Prabowo. Tapi pembantunya, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, malah sering nggak akur. Jadi kita anak-anaknya yang bingung."
Tiba-tiba, dari balik dapur, Pak Parto menyahut. "Ini kok seru banget ngomongin pligami ya. Jangan-jangan Pak Kades sama perangkat desa ini  mau punya istri lagi?"
Semua tertawa lepas mendengar celetukan itu. Pak Rahmat langsung menggeleng sambil tertawa. "Ngawur, Pak Parto. Kita ini lagi ngomongin desa dan kebijakan pemerintah, kok. Masalahnya, para menteri itu kayak istri poligami yang nggak rukun."
Pak Arif menambahkan sambil tertawa, "Kalau istri - istrii  harmonis, ya  kita anak-anaknya pasti lebih tenang. Program jalan, laporan lancar, nggak ada yang saling menyalahkan."
Pak Narto, yang biasanya paling serius, ikut berkomentar sambil tersenyum tipis. "Sebetulnya, ini bukan soal bapak dengan dua istri. Tapi bapak yang punya pembantu-pembantu yang nggak rukun. Pembantu itu lupa, kita desa ini adalah harapan utama untuk bapaknya, yaitu Presiden Prabowo."
Pak Rahmat mengangguk setuju. "Iya, benar juga. Bukan poligami yang nggak rukun, tapi pembantu-pembantu yang saling sikut. Kalau mereka harmonis, desa pasti lebih maju."
Tawa kembali pecah. Suasana di warung sate itu menjadi semakin santai. Mereka menikmati sate dan tongseng sambil terus bercanda tentang situasi desa dan kebijakan pemerintah. Meskipun topik mereka cukup berat, humor dan kebersamaan membuat semuanya terasa lebih ringan.
Ketika piring-piring sudah kosong dan minuman hampir habis, Pak Rahmat berkata sambil menghela napas, "Pak Parto, sate dan tongsengmu ini luar biasa. Rasanya, obrolan berat pun jadi ringan kalau ada makanan enak begini."
Pak Parto tersenyum lebar. "Alhamdulillah, Pak Kades. Warung ini selalu terbuka buat bapak-bapak kalau mau ngobrol lagi. Tapi jangan bawa ibu baru beneran, ya."
Semua tertawa lagi. Mereka bangkit dari tempat duduk, bersiap untuk pulang. Sebelum pergi, Pak Arif berkata, "Doakan ya, Pak Parto, supaya desa-desa ini tetap jadi prioritas. Kita masih percaya sama Pak Presiden. Cuma ya, pembantu-pembantunya ini yang mesti dirapikan."