sate sederhana di ujung desa, aroma khas sate dan tongseng menyeruak memenuhi udara. Warung Pak Parto memang terkenal, bukan hanya karena rasa makanannya yang melegenda, tetapi juga karena suasananya yang akrab. Malam itu, tiga orang lelaki duduk di meja kayu panjang. Mereka adalah Kepala Desa Pak Rahmat, Sekretaris Desa Pak Arif, dan Bendahara Desa Pak Narto.
Di sebuah warungMereka baru saja memesan sate kambing, tongseng, dan segelas jeruk manis. Perbincangan hangat segera mengalir, mengiringi suasana malam yang sedikit gerimis.
"Jadi gimana menurut kalian soal kebijakan baru ini?" tanya Pak Rahmat, membuka percakapan. Ia melepaskan topinya dan mengusap rambutnya yang mulai memutih. "Presiden Prabowo ini punya visi besar soal ketahanan pangan, tapi kenapa urusan di bawah ini malah jadi makin rumit?"
Pak Arif, yang duduk di sebelahnya, menghela napas. "Masalahnya bukan di Pak Presiden. Kita tahu beliau serius ingin memajukan desa lewat ketahanan pangan. Tapi menteri-menteri ini, Menteri Keuangan, Mendagri, Menteri Desa, kayak nggak sinkron, Pak. Kebijakannya bikin kita bingung."
Pak Narto, yang sejak tadi diam sambil memutar-mutar jeruk manisnya, akhirnya angkat bicara. "Betul, Pak Kades. Kita dulu mati-matian memperjuangkan Undang-Undang Desa supaya desa punya kemandirian. Tapi sekarang, dana desa yang dikirim dari pusat malah diatur sedetail ini. Desa kayak kehilangan ruhnya."
Pak Rahmat menunduk sejenak, lalu berkata, "Harusnya dana desa itu ya hak kita, kewajiban pusat. Bukan jadi kayak hadiah yang disertai segunung syarat. Kalau begini terus, kapan desa bisa benar-benar mandiri?"
"Syarat-syarat itu mestinya untuk administrasi, bukan untuk membatasi kita," tambah Pak Arif, sambil mengangkat sebatang sate dan meniupnya pelan. "Tapi ini terlalu banyak aturan yang detail. Kita malah sibuk ngurusin laporan daripada fokus ke pembangunan."
Pak Rahmat tersenyum kecut. "Kita ini, desa, kayak anak yang punya ibu baru. Ibu baru ini nggak bisa rukun sama ibu lama. Akhirnya, kita, anak-anaknya, jadi korban."
Ketiganya tertawa kecil, meskipun sebenarnya itu tawa getir. Di tengah obrolan serius itu, Pak Parto datang membawa sepiring sate dan tongseng panas. Ia meletakkan piring-piring itu di atas meja dengan cekatan.
"Silakan dinikmati, Pak Kades, Pak Arif, Pak Narto," katanya ramah.
"Terima kasih, Pak Parto," jawab Pak Rahmat sambil tersenyum. Ia mengambil sebatang sate, lalu mulai menikmati aroma dan rasanya yang khas.