Sertifikasi profesi telah menjadi instrumen penting dalam memastikan kompetensi tenaga kerja di berbagai sektor, termasuk di bidang pemberdayaan masyarakat melalui Tenaga Pendamping Profesional (TPP). Namun, kebijakan terbaru Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) yang mengatur besaran biaya sertifikasi profesi telah menuai kritik. Biaya tinggi yang dibebankan kepada TPP melalui Kepmendesa PDTT Nomor 198 Tahun 2024 menjadi isu sentral, terutama karena beban ini dianggap tidak selaras dengan peran pemerintah sebagai pemberi kerja. Artikel ini mengulas detail kebijakan, dampak finansial, dan rekomendasi perbaikan untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil dan efektif.
Kebijakan Sertifikasi Profesi
Sertifikasi profesi bertujuan memastikan bahwa setiap tenaga pendamping memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar yang dibutuhkan di lapangan. Dalam Kepmendesa PDTT Nomor 198 Tahun 2024, sertifikasi dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) pihak ketiga. Kebijakan ini merinci biaya sertifikasi berdasarkan skema okupasi, lokasi uji kompetensi, dan jumlah peserta.
Skema biaya yang diberlakukan mencakup:
- Biaya pelaksanaan uji kompetensi, termasuk honorarium asesor, komite teknis, dan tim pelaksana.
- Biaya operasional seperti akomodasi, konsumsi, transportasi, hingga cetak sertifikat.
Besaran biaya bervariasi tergantung lokasi dan tingkat tenaga pendamping, mulai dari Rp1,2 juta hingga lebih dari Rp6 juta. Misalnya, untuk tenaga pendamping di Papua, biaya tertinggi dapat mencapai Rp6,7 juta, sementara di lokasi lain seperti Jawa biaya lebih rendah tetapi tetap signifikan.
Permasalahan dalam Implementasi Kebijakan
1. Ketidaksesuaian dengan Proses Rekrutmen
Saat pertama kali direkrut, TPP tidak diwajibkan memiliki sertifikasi profesi. Namun, kebijakan baru mewajibkan mereka untuk memperoleh sertifikasi di tengah perjalanan karier. Hal ini memunculkan kesan bahwa sertifikasi lebih sebagai formalitas administratif daripada instrumen pengembangan kompetensi nyata. Kebijakan ini menimbulkan dilema bagi tenaga pendamping, karena mereka merasa terbebani secara finansial untuk memenuhi kewajiban yang sebelumnya tidak tercantum dalam persyaratan awal kerja.
2. Beban Finansial yang Memberatkan
Biaya sertifikasi yang tinggi menjadi kendala besar, terutama bagi tenaga pendamping yang bertugas di wilayah dengan biaya hidup tinggi dan aksesibilitas rendah. Misalnya, biaya uji kompetensi di lokasi seperti Papua jauh lebih tinggi dibandingkan di Jawa. Dengan gaji yang terbatas, TPP harus mengalokasikan dana pribadi untuk sertifikasi, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pemberi kerja.
3. Potensi Komersialisasi Sertifikasi
Pemberian tanggung jawab kepada LSP pihak ketiga tanpa subsidi penuh dari pemerintah berpotensi menciptakan peluang komersialisasi sertifikasi. Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa sertifikasi tidak lagi menjadi alat untuk peningkatan kompetensi, tetapi menjadi sumber pendapatan bagi lembaga tertentu. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan.
4. Dampak terhadap Kinerja TPP
Beban biaya sertifikasi dapat menurunkan motivasi dan kinerja TPP di lapangan. Fokus tenaga pendamping yang seharusnya diarahkan pada pemberdayaan masyarakat malah terganggu oleh tekanan finansial untuk memenuhi kewajiban administratif. Hal ini berpotensi melemahkan efektivitas program pembangunan desa yang sedang dijalankan.
5. Peluang dari Learning Management System (LMS)
Kemendesa saat ini telah memiliki platform pembelajaran berbasis online, yaitu LMS Kemendesa. Fasilitas ini menawarkan peluang besar untuk mengurangi, bahkan menghilangkan beban biaya sertifikasi. Dengan memanfaatkan LMS, pembelajaran dan asesmen dapat dilakukan secara online, menghilangkan kebutuhan akan biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsi. Selain itu, LMS memungkinkan fleksibilitas dalam proses pembelajaran, sehingga TPP dapat mengikuti pelatihan tanpa meninggalkan tugas mereka di lapangan.