Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Ini anak nggak jelas, ngga ada adab. Aku belum sempat jawab waalaikumsalam sudah ditutup teleponya," gumamku.
Aku kembali menyalakan sebatang kretek, menghisapnya pelan sambil memandang lalu lintas yang mulai dipenuhi kendaraan. Pikiranku melayang ke lelaki tadi. Aku membayangkan sosok seorang bapak yang menangis di ujung telepon. Bebannya pasti begitu berat.
Namun, dalam diam, aku bertanya pada diriku sendiri. Aku ini siapa? Emang aku bisa membantu memastikan kontraknya diperpanjang?
Aku hanya orang biasa diluar kementerian . Tidak punya kuasa untuk memastikan apa pun. Tugasku mungkin hanya mendengar, memberi nasihat, dan mendoakan. Tapi tetap saja, aku merasa sedikit berdosa, karena sampai ada orang yang menyerahkan dirinya menggantungkan harapan padaku.
Aku nikmati  kopi yang hampir habis, kini benar-benar dingin. Aku hanya bisa berharap, apa pun yang terjadi, semoga lelaki itu bisa menemukan jalan terbaiknya. Aku tahu betapa pentingnya pekerjaan itu untuknya---bukan hanya sekadar nafkah, tapi juga harga diri.
Saat lamunanku memanjang, anakku tiba-tiba muncul di depanku.
"Ayah, ayo pulang. Barang yang aku cari sudah dapat," katanya sambil tersenyum lebar.
Aku mengangguk, mematikan batang kretekku, dan berdiri.Â
Sambil berjalan meninggalkan kedai, aku menatap langit yang mulai gelap. Dalam hati, aku berdoa. Ya Tuhan, tolong bantu dia. Bantu mereka yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaannya sebagai pendamping. Beri mereka kekuatan untuk menghadapi apa pun yang Engkau rencanakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H