Aku menghela napas dan mencoba menenangkannya. "Kamu ini mau curhat atau mau komplain? Kalau curhat, aku akan dengar. Tapi kalau komplain, kamu harus siap dengan segala konsekuensinya."
Dia terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada lirih, "Curhat saja, Pakdhe."
"Kalau begitu, ceritakan saja. Aku dengarkan," kataku, membuka ruang untuk meluapkan beban.
Dia mulai berbicara panjang lebar. Tentang betapa ia mencintai pekerjaannya sebagai pendamping desa. "Ini bukan sekadar pekerjaan, Pakdhe. Ini tempat saya mencari nafkah mendapatkan rejeki. Selama tujuh tahun, evaluasi kinerja saya selalu A. Tapi sekarang, ada isu kami harus ikut seleksi ulang tanpa memperhatikan hasil evaluasi kerja. Anak saya butuh biaya sekolah, Pakdhe."
Aku mendengarkan dengan saksama, membiarkannya mengungkapkan semua keluh kesah.
"Tahun lalu saya dipindahkan tanpa permintaan. Saya terima karena saya butuh pekerjaan ini. Tapi kalau sekarang harus seleksi ulang, saya takut, Pakdhe. Kalau sampai saya tidak diterima..." Suaranya mulai terdengar bergetar. Ia berhenti sejenak, mungkin untuk menahan tangis.
"Pakdhe, saya titip nasib  saya. Tolong bantu agar kontrak saya diperpanjang. Semua dokumen sudah saya kirim," katanya, hampir seperti memohon.
Aku menghela napas panjang, memandang secangkir kopi yang kini mulai dingin. "Dengar, ya. Yakinlah bahwa kamu layak mendapatkan pekerjaan ini. Menteri desa pasti memperhatikan hasil evaluasi kinerja. Tapi ingat, segala keputusan ada di tangan Tuhan. Jangan takut kehilangan rezeki. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin. Sekarang saatnya kamu berdoa lebih keras. Ajak anak, istri, dan orang tuamu untuk ikut mendoakan. Yakinlah bahwa Tuhan tidak akan menyengsarakan hidupmu."
Dia terdiam, lalu terdengar isak tangis kecil. "Terima kasih, Pakdhe. Terima kasih sudah memberi kekuatan dan arahan untuk saya."
"Ya," jawabku singkat.Â
Tapi sebelum aku sempat menambahkan sesuatu, dia menutup telepon dengan ucapan, "Assalamualaikum."