Mohon tunggu...
Suryo Alamsyah
Suryo Alamsyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bermain bola Membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyikapi Persoalan Provinsi Banten Tidak Bahagia Melalui Aspek Sosiologis

11 Januari 2024   10:05 Diperbarui: 11 Januari 2024   10:37 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.580 yang dihuni lebih dari 360 suku, Indonesia memiliki 38 provinsi yang dimana mencakup satu kesatuan wilayah,politik,ekonomi,sosial budaya,historis,sangat kita ketahui salah satu provinsi ada di Indonesia yaitu provinsi Banten yang dimana menjadi provinsi yang paling tidak bahagia seindonesia. 

BPS menerbitkan survei provinsi Banten mendapatkan indeks kebahagiaan paling rendah seindonesia berdasarkan survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) melalui indikator kepuasan hidup, indikator perasaan,dan indikator makan hidup. Indikator ini kompleks karena bersifat subjektif karena apa yang dialami oleh individu atau yang dialami keluarganya yang kemudian interaksinya dengan lingkungan.

Pada dasarnya ditinjau dari aspek sosiologis salah satu penyebab permasalahan ini terdapat pada maraknya pernikahan usia dini atau pernikahan yang belum memiliki kesiapan sehingga menimbulkan beberapa faktor ekonomi yang kurang stabil pada keluarga tersebut sehingga maraknya kasus perceraian. Adapun terkait detail kasus perceraian per wilayah di provinsi Banten selama 2023, berikut angkanya; 

Pengadilan agama Tigaraksa 7.806 kasus

Pengadilan agama serang 5.905 kasus

Pengadilan agama Tangerang 3.387 kasus

Pengadilan agama Pandeglang 1.784 kasus

Pengadilan agama Rangkasbitung 1.286 kasus

Pengadilan agama Cilegon 973 kasus

Sebagian besar kasus perceraian disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi,kemudian perselingkuhan,dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dapat kita pahami bersama bahwa faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab provinsi Banten memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah maka dari itu perlunya kesiapan diri kita untuk melakukan pernikahan, pernikahan dini yang kerap kali membawa dampak negatif karena belum memiliki kesiapan baik secara ekonomi, kesehatan,dan finansial sehingga tingginya pernikahan dini di Indonesia menjadi persoalan serius untuk menghadapi Indonesia emas 2045. 

Ditengah bonus demografi yang sudah mulai berjalan, pernikahan usia dini dapat menyebabkan sejumlah dampak negati dan resiko. Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama (BPS) dan UNICEF, ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan oleh anak usia dini.

Salah satu dampak negatif terdapat pada anak perempuan, anak perempuan apabila sudah melakukan pernikahan yang dimana umur anak tersebut belum pada aturan pernikahan di negara Indonesia anak tersebut akan kehilangan beberapa haknya, yaitu hak pendidikannya,yang hilang karena perkawinan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatannya yang bisa beresiko apabila melakukan proses melahirkan, dan hak tidak dipisahkan dari orang tuanya, berkaitan pada dampak kesehatan pada nikah usia dini memiliki resiko kematian ketika melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang sudah cukup umur. 

Secara psikologis seperti kecemasan, depresi,bahkan keinginan bunuh diri dan pengetahuan seksualitas yang masih rendah juga meningkatkan resiko terkena penyakit infeksi yang menular seperti HIV.

Dampak berikutnya terdapat pada bayi yang dilahirkannya apabila bayi tersebut lahir dari perempuan yang dikategorikan usia dini resiko tersebut menyebabkan kematian bayi lebih lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak memiliki resiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.

Tidak kalah penting dampak yang diberikan karena pernikahan usia dini juga terdapat pada lingkungan sekitar atau masyarakat, terus menerusnya angka kemiskinan ini salah satu dampak dari pernikahan usia dini karenanya pernikahan yang tidak dibarengi tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap bagaimana orang tua mendidik kepada anak anaknya. Pada akhirnya berbuntut siklus kemiskinan yang berkelanjutan.

Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya semua elemen yang ada di Indonesia baik pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, dan terutama orang tua melakukan edukasi yang baik tentang pemahaman pernikahan yang dilakukan ketika belum memiliki ketersiapan menikah. Caranya dengan mengawasi secara lebih memadai, tetap bijaksana dalam menyikapi pergaulan sosial anak-anak kita. 

Selanjutnya dapat ditingkatkan sosialisasi dampak negatif dari pernikahan usia dini dengan menyertakan beberapa kasus dan fakta sosiologis di masyarakat sekitar terutama dampak dari pergaulan bebas.. dan memberikan kesempatan pada pemuda untuk memberikan kegiatan positif sehingga dapat mengasah minat dan bakat mereka karenanya peningkatan sumber daya manusia berpotensi mengurangi angka pernikahan usia dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun