Mohon tunggu...
surya ramadhana
surya ramadhana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang saat ini bekerja di BPS Kabupaten Buru Selatan, Maluku

Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Data Beras yang Semakin Beres

25 Oktober 2018   11:12 Diperbarui: 25 Oktober 2018   11:18 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tahun politik ini banyak sekali keriuhan yang terjadi di Indonesia. Salah satunya mengenai kebiijakan impor beras yang dilakukan Kementrian Perdagangan. Publik masih ingat saling tuding antara 3 tokoh yang sering disebut media, yaitu Pak Enggar Lukito (Menteri Perdagangan), Pak Budi Waseso (Kepala Bulog) dan Pak Rizal Ramli (Mantan Menko Maritim). Bahkan residu-residu beritanya masih hangat dibahas di media sampai sekarang.

Sebagai mana yang kita ketahui bersama, di era sekarang data menjadi komoditas yang sangat penting. Perbedaan pandangan kebijakan impor tempo hari ditengarai karena beberapa pihak saling meragukan data yang digunakan sebagai pijakan kebijakan. Dalam dunia akademisi perbedaan data bisa menjadi wajar dan dapat ditolerir asal menggunakan metode yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun dalam suatu kebijakan negara perbedaan data harus dihilangkan karena menyangkut hajat hidup banyak orang. Ego kementrian mengenai data sudah seharusnya tidak terjadi lagi. Untuk itu, Presiden Jokowi menetapkan BPS sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi rujukan kebijakan pemerintah.

Beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia menjadi komoditas penting nasional yang diatur oleh Negara. Gejolak harga, stok, produksi beras yang terjadi di Indonesia sedikit banyak akan memengaruhi tingkat sosial ekonomi masyarakat. 

Berdasarkan hasil Susenas 2017 setengah dari pendapat masyarakat dihabiskan untuk membeli bahan makanan yang mana 10 persennya untuk membeli padi-padian (beras). Kenaikan harga sedikit saja pada komoditi beras akan memengaruhi struktur pengeluaran masyarakat dan berimbas pada kemiskinan.

Secara sederhana impor beras terjadi karena stok yang dimiliki tidak mampu memenuhi konsumsi masyarakat. Tapi apakah benar Indonesia yang terkenal dengan negara agraris harus impor beras?

BPS merilis data produksi padi

Sayangnya, dalam dua tahun ke belakang BPS tidak mengeluarkan data produksi padi yang mana seharusnya menjadi data landasan untuk kebijakan impor. Hal ini terpaksa dilakukan karena BPS kala itu sedang memperbaiki metode penghitungan produksi padi yang ditengarai banyak pihak selama ini kurang tepat. 

Untuk itu, Wakil Presiden membentuk tim untuk memperbaiki data produksi padi nasional. Wapres menunjuk BPS, Badan Informasi dan Geospasial (BIG), BPPT, Lapan, Kementrian ATR/BPN untuk membuat metode baru penghitungan produksi padi. Setelah beberapa diskusi dengan para peneliti tercestalah metode baru yang dinamai Kerangka Sampel Area (KSA).

Prinsipnya KSA dapat menghitung luas baku sawah menggunakan citra satelit. Sebagai perbandingan, metode lama penghitungan luas panen hanya mengandalkan taksiran petugas pencacah, banyaknya air untuk irigasi dan penggunakan benih. Sedangkan metode baru lebih modern menggunakan citra satelit bersumber dari peta yang dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional.

Bertepatan dengan 4 tahun kinerja Jokowi-JK akhirnya Indonesia memiliki data produksi beras yang lebih mutakhir. Hasil KSA mengungkapkan bahwa terjadi penurunan luas baku sawah sebanyak 653.000 ha selama lima tahun ini. 

Perlu diketahui dalam pengurangan luas tersebut adalah agregat  dari hilangnya sawah akibat konversi lahan dan pencetakan lahan sawah baru oleh pemerintah. Jadi bukan semata-mata lahan sawah berkurang. Tetapi juga sebenarnya pemerintah telah berupaya mencetak sawah baru.

Angka produksi didapat dari perkalian luas lahan panen dengan produktivitas padi. Besaran luas lahan panen didapat dari KSA sementara angka produktivitas didapat dari survei ubinan yang dilaksanakan triwulanan.

Luas lahan baku sawah tahun 2018 tercatat 7,1 juta hektar (ha), sementara luas panen padi selama tahun 2018 10,9 juta ha. Itu artinya sekitar 50 persen sawah ditanami dua kali di tahun ini. Dengan luas panen tersebut didapatkan angka produksi gabah kering giling 56,54 juta ton atau jika dikonversi ke beras menjadi 32,42 juta ton beras.

Sementara itu data konsumsi beras yang didapat dari Susenas 2017 sebesar 29,57 juta ton. Asumsinya, konsumsi tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Itu artinya jika produksi dikurangi konsumsi didapatlah sisa produksi beras sebesar 2,85 juta ton.

Mengapa masih impor?

Surplus sebesar 2,85 juta ton sejatinya bukan merupakan indikator yang aman persediaan pangan nasional. Jika kita telisik konsumsi beras 29,57 juta  ton tahun ini senilai dengan 2,46 juta ton per bulan. Padahal tahun 2018 masih menyisakan 3 bulan lagi. Kasarnya surplus 2,85 juta ton hanya bisa 'melindungi' pangan nasional selama satu bulan. 

Bisa diartikan memang kebijakan impor Maret lalu memang diperlukan untuk memperkuat stok pangan nasional. Namun setelah data produksi pangan ini dirilis, pemerintah sementara tidak perlu impor beras lagi setidaknya sampai akhir tahunini. Berdasarkan pernyataan wapres hal tersebut dikarenakan dua hal. 

Pertama stok bulog masih di atas 1 juta ton (batas aman) yang mana berbeda keadaannya dengan Januari lalu yang hanya 500 ribu ton. Kedua kenaikan range harga beras nasional masih dibawah 10 persen dari harga eceran tertinggi (HET).

Perlu diketahui bersama secara riil angka surplus 2,85 juta ton yang dirilis BPS tidak semuanya berada di tangan pemerintah. Surplus beras tersebut posisinya tersebar di banyak pihak. Mulai dari rumah tangga pertanian, penggilingan, pedagang, rumah tangga konsumen dan sebagian diserap Bulog. Secara komposisi 44 persen surplus beras tersebut ada di pihak produsen. 

Segala hal yang terkait dengan hajat perut memang tidak bisa ditunda. Sudah sejak lama kita tahu bahwa pangan adalah kebutuhan primer selain sandang, dan papan. Sejatinya pemerintah terus berupaya untuk mengakomodir urusan perut rakyatnya. 

Di sisi lain, memang Indonesia adalah negara agararis tetapi tidak semua tanah di Indonesia cocok ditanami padi, belum lagi jika variabel cuaca diperhitungkan. Secara umum Provinsi Jawa Timur, Tegah, Barat masih menjadi lumbung padi nasional.

Selain pencetakan sawah baru, setidaknya perlu ada dua tinjauan kebijakan lagi. Pertama, kebijakan sawah abadi di Jawa. Mengingat 60 persen ekonomi ada di Jawa sehingga harga tanah di Jawa akan terus naik. 

Pemberian subsidi dan penjaminan sawah yang diberikan ke petani di Jawa berguna untuk melindungi tergiurnya petani untuk menjual sawahnya. Kedua regenerasi petani harus berjalan. Milineal sekarang kurang tertarik dengan pertanian. Percuma ada sawah tetapi tidak ada yang menanam. Hal ini perlu diantisipasi oleh pemerintah.

Berkah dari Tuhan YME bahwa tahun 2035 Indonesia akan mengalami bonus domegrafi tetapi jika penambahan penduduk ini tidak diimbangi dengan stabilitas pangan maka penduduk Indonesia mau diberi makan apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun