Angka produksi didapat dari perkalian luas lahan panen dengan produktivitas padi. Besaran luas lahan panen didapat dari KSA sementara angka produktivitas didapat dari survei ubinan yang dilaksanakan triwulanan.
Luas lahan baku sawah tahun 2018 tercatat 7,1 juta hektar (ha), sementara luas panen padi selama tahun 2018 10,9 juta ha. Itu artinya sekitar 50 persen sawah ditanami dua kali di tahun ini. Dengan luas panen tersebut didapatkan angka produksi gabah kering giling 56,54 juta ton atau jika dikonversi ke beras menjadi 32,42 juta ton beras.
Sementara itu data konsumsi beras yang didapat dari Susenas 2017 sebesar 29,57 juta ton. Asumsinya, konsumsi tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Itu artinya jika produksi dikurangi konsumsi didapatlah sisa produksi beras sebesar 2,85 juta ton.
Mengapa masih impor?
Surplus sebesar 2,85 juta ton sejatinya bukan merupakan indikator yang aman persediaan pangan nasional. Jika kita telisik konsumsi beras 29,57 juta  ton tahun ini senilai dengan 2,46 juta ton per bulan. Padahal tahun 2018 masih menyisakan 3 bulan lagi. Kasarnya surplus 2,85 juta ton hanya bisa 'melindungi' pangan nasional selama satu bulan.Â
Bisa diartikan memang kebijakan impor Maret lalu memang diperlukan untuk memperkuat stok pangan nasional. Namun setelah data produksi pangan ini dirilis, pemerintah sementara tidak perlu impor beras lagi setidaknya sampai akhir tahunini. Berdasarkan pernyataan wapres hal tersebut dikarenakan dua hal.Â
Pertama stok bulog masih di atas 1 juta ton (batas aman) yang mana berbeda keadaannya dengan Januari lalu yang hanya 500 ribu ton. Kedua kenaikan range harga beras nasional masih dibawah 10 persen dari harga eceran tertinggi (HET).
Perlu diketahui bersama secara riil angka surplus 2,85 juta ton yang dirilis BPS tidak semuanya berada di tangan pemerintah. Surplus beras tersebut posisinya tersebar di banyak pihak. Mulai dari rumah tangga pertanian, penggilingan, pedagang, rumah tangga konsumen dan sebagian diserap Bulog. Secara komposisi 44 persen surplus beras tersebut ada di pihak produsen.Â
Segala hal yang terkait dengan hajat perut memang tidak bisa ditunda. Sudah sejak lama kita tahu bahwa pangan adalah kebutuhan primer selain sandang, dan papan. Sejatinya pemerintah terus berupaya untuk mengakomodir urusan perut rakyatnya.Â
Di sisi lain, memang Indonesia adalah negara agararis tetapi tidak semua tanah di Indonesia cocok ditanami padi, belum lagi jika variabel cuaca diperhitungkan. Secara umum Provinsi Jawa Timur, Tegah, Barat masih menjadi lumbung padi nasional.
Selain pencetakan sawah baru, setidaknya perlu ada dua tinjauan kebijakan lagi. Pertama, kebijakan sawah abadi di Jawa. Mengingat 60 persen ekonomi ada di Jawa sehingga harga tanah di Jawa akan terus naik.Â