Mohon tunggu...
Rafiq Dharma
Rafiq Dharma Mohon Tunggu... -

Surya untuk Restorasi Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bahaya Demokrasi Super Liberal

6 April 2015   07:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="301" caption="karikatur: istimewa"][/caption]

Kita mulai masuk pada era industrialisasi politik. Ini sangat berbahaya, karena siapa yang mampu membayar dialah yang menang. Patut direnungkan, dalam kondisi seperti itu apakah mungkin lahir elit politik berjiwa negarawan apalagi pemimpin besar yang dapat menyelamatkan kondisi bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan kita?

Apakah Indonesia sudah sepenuhnya merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur? Apapun kondisi bangsa, kita tak boleh menyerah terhadap segala permasalahan yang dihadapi. Kita harus bangkit, terus berjuang, berjuang, dan berjuang. Kibarkan semangat dan militansi Gerakan Restorasi Indonesia. Semoga Allah SWT meridhai perjuangan kita. Amien!

Itulah penggalan pidato Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) dalam sebuah kampanye di Pemilu 2014. Sekilas memang klise. Namun apa yang disampaikan Surya adalah sebuah fakta yang terjadi dalam perkembangan demokrasi kita. Bedanya, ia kerap menumbuhkan semangat optimisme perubahan dengan gagasan, dan segala aktivitas politiknya.

Perjuangan seorang Surya Paloh di dunia politik salah satunya ingin menempatkan demokrasi sebagai alat untuk menghantarkan tujuan. Ia bukan tujuan. Demokrasi dan politik itu mulia, keduanya merupakan cara untuk mencapai kesejahteraan.

Surya melihat demokrasi super liberal yang dianut bangsa Indonesia pasca Reformasi sangat berbahaya bagi kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Menurutnya, kita sudah berada di dalam jebakan demokrasi pragmatis transaksional.

Demokrasi kita sudah berada di titik nadir. Bayangkan saja, di semua daerah mulai merasuk jargon ‘wani piro’ (berani bayar berapa). Tak ada lagi pembahasan politik gagasan, tak ada lagi orientasi terhadap nilai-nilai idealisme yang harus diperjuangkan. Tak ada lagi proses national character building yang bisa membangun harkat dan martabat bangsa yang membanggakan.

Bangsa ini patut bersyukur dengan hadirnya politisi seperti Surya Paloh. Sosoknya yang berani, keras, suaranya menggelegar. Menurut ceritanya, pernah Ibu Tien Soeharto (Almh) menyebutnya mirip Jenderal Gatot Soebroto (Alm). Di usia 64 Tahun, umur yang cukup matang dan menarik sebagai pengusaha dan tokoh politik. Di waktu mudanya (15 tahun), ketika anak-anak zaman sekarang lagi gandrung game internet, kongkow-kongkow, dan gaya hidup pop lainnya, Surya sudah menjadi pimpinan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) untuk mengeritisi rezim Orde Lama. Sejak kecil ia juga sudah berbisnis.

Di usia 21 tahun, Surya menjadi calon anggota DPRD. Baru pada usia 25 tahun, ia menjadi anggota MPR termuda. Keaktifannya di dunia organisasi, sosial, politik dan ekonomi, meneguhkan semangat perjuangan Surya untuk memuliakan demokrasi. Baginya, menegakkan nilai-nilai demokrasi secara universal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah suatu idealisme yang mutlak dilaksanakan untuk menjunjung tinggi aspirasi rakyat, selain jembatan emas untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Idealisme itulah yang terus diperjuangkan, baik sebagai kaum pergerakan, tokoh pemuda, politisi, maupun pengusaha pers kelak di kemudian hari.

Demokrasi di Indonesia dewasa ini telah melahirkan persepsi masyarakat yang tak lagi menghormati institusi resmi. Surya menilai, kondisi itu berbahaya. "Hari ini masyarakat kita tidak lagi memberikan penghormatan kepada institusi resmi di negeri ini. Masyarakat tidak hormat kepada lembaga pemerintahan, tidak hormat kepada lembaga eksekutif," kata Surya dalam sebuah kesempatan di hadapan kader Partai NasDem.

Menurut Surya, hal itu sangat berbahaya. Sebab, hilangnya rasa hormat membuat negara terancam. Ini bukan hal yang memberikan rasa kebanggaaan pada diri kita sebagai suatu bangsa. Runtuhnya penghormatan dan penghargaan pada institusi resmi ini berarti sistem penyelenggaraan negara dalam keadaan bahaya.

Tak hanya itu, hilangnya penghormatan juga membuat demokrasi Indonesia terancam. Demokrasi kita akan terancam, padahal kita sekarang dengan gagah mengatakan ini negara kampiunnya demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun