VESPA Bajaj jadi teman setia. Lenteng Agung 32 -Jatinegara- terus ke Senayan, Jakarta. Rute itu saya tempuh dengan motor berwarna pink. Hampir setiap hari. Rutin.
Motor racikan India itu jadi saksi perjalanan karier saya sebagai wartawan. Berawal dari tabloid Tribun Olahraga di Jatinegara, Jakarta Timur. Tabloid olahraga pertama di Indonesia yang lahir pada 1984. Anak dari koran harian sore Suara Pembaruan yang berkantor di Cawang, Jakarta Timur.
Saya banyak belajar dari sana pada 1990. Persisnya saat memasuki semester kedua di kampus tercinta IISIP. Redpel Ponco Siswanto dan Sormardjo (almarhum) memberi saya ruang untuk belajar menulis.
Saya tipikal orang yang tidak doyan dicekoki teori. Kuliah kabur-kaburan demi mengejar pengalaman di lapangan. Jelang ujian saya pakai 'SKS' atau sistem kebut semalam. Selesai! Â
Sejatinya saya 'tersesat' di LA 32. Saya lebih menyukai ilmu kimia sejak SMA. Bukan gaya-gayaan, saya pernah nekat ikut lomba kimia. Tapi tersisih dalam seleksi tahap dua di sekolah.
Jurnalistik jadi 'pelarian' yang akhirnya bisa saya nikmati. Saya di kelompok 3 jurnalistik angkatan 89 IISIP. Â Saya menemukan setitik cahaya dalam ketersesatan dari cita-cita kecil.
Selain organik di Media Indonesia, saya juga freelance di beberapa media. Itu nikmat kebahagiaan saya. Karena saya bisa bayar kuliah dari kantong sendiri. Hasil keringat dari jurnalistik.
Waktu itu uang kuliah Rp 450 ribu per semester. Â Masih terjangkau. Tiap bulan saya tabung Rp 75 ribu hingga 6 bulan dari uang gajian. Menurut ukuran saya kala itu lumayan.
Risiko cape, itu pasti. Berangkat pagi dari kos-kosan, pulang dini hari. Hampir tiap minggu liputan  keluar kota. Semua saya nikmati.
Otak saya biasa-biasa saja. Tapi berusaha melek teknologi. Saya juga tidak terlalu bebal untuk lulus S1 dalam 4,5 tahun. Meski pakai absensi khusus. Karena kuliah sambil kerja.
"Maradona dan Dop". Â Itu judul opini pertama saya sebagai freelance di Tribun Olahraga pada 1991. Maradona diagungkan di Napoli. "Si Tangan Tuhan' mengantar Napoli juara Seri A 1987 dan 1990.
Kariernya kemudian menurun setelah ia kecanduan barang haram. Maradona terbukti menggunakan doping pada 1991. Dia dilarang bermain sepak bola selama 15 bulan. Setelah bebas, ia comeback bersama Sevilla. Namun dipecat setahun kemudian.
Sebagai pemula, tentu bangga tulisan saya dimuat di media. Honor pertama habis untuk traktir teman-teman kos di sebelah kampus. Kami menyebutnya Pentagon.
Tapi bukan Pentagon markas besar Departemen Pertahanan AS yang dibangun pada saat Perang Dunia II. Ini Pentagon kongkow-kongkow Kelompok 3 jurnalistik angkatan 1989.
Bahkan tulisan Maradona dan Doping itu yang mengantar saya kenal dengan Jois, wanita Manado yang ujuk-ujuk bersurat kepada saya.
Belakangan saya tahu, dia ingin kenalan karena tulisan saya. Tulisan pertama, penggemar pertama. Semangat menulis makin bergairah.
Cita-cita saya sederhana: anak Betawi yang ingin keliling nusantara. Perlahan tapi pasti. Allah memberi saya jalan. Saya dipercaya dan mendapat kesempatan dari pimpinan. Bahkan hingga menyentuh bibir Asia dan Eropa. Sekali lagi, ini hanya karena kesempatan dan kepercayaan.
Tentu prosesnya panjang. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bermodal mesin ketik, jari-jari ini menari hampir setiap hari. Pagi, siang bahkan malam.
Dulu belum ada komputer. Banyak sekali kertas HVS lecek di tempat sampah. Salah sedikit, langsung saya sobek, dan buang. Mesin bermerek Royal itu acap saya bawa ketika tugas liputan keluar kota.
Vespa pink terus mengukur jalan, meski kadang tanpa tujuan. Tapi itulah kehidupan, harus terus berjalan. Roda terus berputar.
Vespa tua itu mengatar saya ke Singapura. Final bola basket klub Aspac vs tim Cina yang diproyeksikan untuk Asian Games 1994 Hiroshima. Posturnya tinggi besar. Secara skill dan teknik di atas rata-rata.
Awalnya Momon- sapaan Abdurhman Padang-- menurunkan dua pemain asing. Tapi melihat lawan terlalu tangguh, semua pemain lokal ditarik ke bench. Aspac akhirnya keluar sebagai juara. Skor akhir saya lupa.
Kami pulang ke Jakarta dengan senang. Kehidupan normal kembali dimulai. Berangkat pagi pulang dini hari. Kadang melanjutkan bikin berita dari kos-kosan hingga tertidur di atas mesin ketik.
SEA Games Chiangmai, Thailand 1995 tugas yang tidak ringan. Â Kantor hanya mengirim saya sendiri. Melelahkan itu pasti. Lebih dari 40 cabang olahraga dipertandingkan.
Butuh perhitungan matang. Butuh strategi jitu dalam liputan. Tiap hari harus cermat membaca jadwal pertandingan dan menghitung peluang medali.
Berpacu melawan waktu dan jarak antar venue juga wajib. Manajemen waktu jadi kata kunci.
Tidur pasti tak pernah nyaman. Bahkan saya pernah bermalam di MPC (Main Press Center). Pulang pagi ke hotel cuma ganti baju. Mata masih sepet, langsung liputan. Sialnya kalau dapat liputan yang jaraknya jauh dan Indonesia berpeluang meraih emas. Kejar..!
Rendang selalu jadi andalan saat tugas keluar negeri. Termasuk saat saya meliput Piala Eropa 2004 di Portugal, Piala Dunia Jerman 2006, Piala Eropa 2008 di Swiss dan Austria serta Piala Eropa 2012 di Ukraina dan Polandia serta tugas lainnya.
"Rendang, Anda pasti dari Indonesia. Saya suka," begitu wartawan bule menyapa saat saya makan di tengah liputan.
Rendang dan rokok acap jadi perantara perkenalan dengan wartawan asing. Dari sana saya dibantu wartawan Belanda bertemu legendaris Johan Cruyff di Stuttgart. Ketika itu saya mengintip timnas Belanda latihan.
Saya juga sempat wawancara dan foto bersama Ruud van Nistelrooy, Arjen Robben dan pemain lainnya. Bahkan legendaris Marco van Basten yang saat itu melatih De Oranje di PD 2006 Jerman.
Tentu ini semua karena kemauan, kesempatan dan kepercayaan. Vespa pink dan rendang akan tetap terkenang. Terima kasih Kampus Tercinta yang akhirnya membuat saya jatuh cinta dengan jurnalistik. Hingga hari ini. *
Suryansyah
Sekjen Siwo PWI Pusat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H