Fadil tetap tenang. Keukeh pada sikapnya. Entah dari mana cerita itu menyebar. Sampai ke telinga para pendukung Fadil. Mereka tak terima Fadil dalam ancaman. Kelompok yang menterornya pun diburu. Akhirnya mereka minta maaf kepada Fadil.
Peristiwa itu terjadi pada 21 September 1992. Mahasiswa IISIP mengamuk. Mereka tidak puas terhadap sikap Rektor AM Hoetasoehoet yang memecat para dosen.
Pangkal masalah adalah sang rektor dituduh melakukan skandal seks dengan bawahannya. Tapi di satu sisi bergema: skandal cinta di Kampus Tercinta. Entah mana yang benar.
Tapi, saya tak ingin mengupas kisah lawas itu. Biarlah menjadi bab tersendiri. Tabir gelap dalam sejarah kampus pencetak wartawan andal.
Saya hanya ingin bercerita soal Fadil. Saya kenal Fadil di Ruang Serba Guna. Ketika penataran P4. Dia sosok yang kritis dan cerdas. Dalam menyikapi keadaan sosial dan politik.
Kami sama-sama angkatan 1989. Bedanya Fadil mengambil jurusan humas. Saya memilih jurnalistik.
Tapi, Fadil juga aktif menulis. Dia menjadi freelance atau penulis lepas. Soal apa saja. Di koran Harian Jayakarta, Suara Pembaruan, Aneka, Gadis, dan Mingguan Mutiara.
"Honornya sekitar Rp 20.000 per tulisan. Lumayan buat ukuran mahasiswa ketika itu," kata Fadil bersilaturahim ke gubuk saya di Depok, pekan lalu.
Itu pertemuan pertama kami setelah 34 tahun silam. Saya melihat tak ada yang berubah dari Fadil. Enak diajak bicara. Datar suaranya, tapi berisi. Ayah dari dua putri ini wawasannya luas.
Satu hal yang saya kagumi. Dia tetap kritis dan idealis. Kadang masih suka menulis. Kalau tangannya terasa gatal. Untuk menuangkan pemikirannya. Meski mengaku sudah pensiun dari dunia wartawan.
Saya tak ingin mengorek lebih dalam kenapa dia meninggalkan dunia jurnalistik. Tapi saya yakin dia telah kalkulasi sebelum mengambil keputusan.