Hamparan tanah luas itu penuh oleh tanaman alamanda. Ya, pohon demi pohonnya berbentuk semak dengan batang ramping dan bercabang banyak. Daun daunnya nan lebat berbentuk lonjong dengan ujung meruncing bewarna hijau gelap mengkilap. Dan bunganya yang indah berbentuk terompet dengan lima kelopak besar nan halus bewarna kuning cerah. Bagi banyak orang, alamanda mungkin memang bukanlah bunga istimewa. Ia tak seharum melati atau semahal lili. Ia juga tak pernah ada dalam buket-buket bunga sebagai penanda romantisme dunia. Namun, aku selalu jatuh cinta dengan alamanda. Ya, aku jatuh cinta dengan alamanda yang selalu mudah tumbuh lebat dan indah di taman atau pekarangan.
    Seekor kupu-kupu dengan kedua sayap bewarna biru langit hinggap di salah satu bunga alamanda yang berukuran besar, menarik perhatianku. Aku pun melangkah mendekatinya. Menyentuh hati-hati ujung kelopak alamanda itu.
"Hai, apakah kamu tidak mengenaliku? Aku adalah alamanda yang hari-hari ini selalu kamu tatap dari balik jendela kaca itu."
   Â
    Aku bergerak mundur penuh rasa kaget seperti hendak melompat. Kupu-kupu cantik itu pun terbang karena terusik oleh gerakan tubuhku. Jantung ku berdebar kencang menyaksikan bunga alamanda yang ada di depanku itu dapat berbicara. Dengan hati-hati aku mendekatinya lagi.
      "Kamu...kamu dapat berbicara?", bisikku lirih
      "Tentu saja. Aku dapat berbicara sepanjang kamu mau mendengarkannya."
      Aku masih menatap takjub bunga alamanda yang ada di depanku itu. Seolah tak percaya bahwa ia dapat berbicara.
      "Hari-hari ini aku selalu melihatmu di balik jendela kamar nomor tiga itu. Matamu selalu sembab. Bahkan beberapa kali aku melihatmu menatapku dengan menangis. Namun pagi ini aku melihatmu menatapku dengan wajah lebih tenang. Bahkan pagi ini aku melihatmu menatapku dengan senyum saat orang-orang membawamu pergi ke ruang di ujung timur itu."
      Aku menghela nafas pelan. Aku berusaha mengatur nafasku supaya jauh lebih tenang.
      "Hari-hari ini mataku sembab karena menangisi sakitku. Hari-hari ini aku sedih karena merisaukan masa depanku sebagai seorang perempuan. Kau tahu? Aku sangat mencintai anak-anak. Aku sangat ingin menjadi seorang ibu yang hebat. Namun dokter bilang mungkin aku akan kehilangan satu atau bahkan dua ovariumku. Dokter bilang mungkin aku tidak akan bisa menjadi seorang ibu."
      "Setiap saat aku menangis merayu Tuhan. Setiap saat aku meminta setiap orang yang kukenal untuk membantuku berdoa. Setiap saat aku bertanya kepada Tuhan, mengapa harus ini ujianku? Namun tadi pagi, saat tiba jadwalnya operasi, aku justru merasa tidak seharusnya memaksa Tuhanku. Tadi pagi saat kau melihatku tersenyum, aku sedang berbisik pada Tuhanku kalau aku berusaha rela menerima apapun mau-Nya"