Hari ini adalah hari kesebelas di bulan kedelapan tahun ini. Ditempatku, hari telah beranjak sore. Sebentar lagi bila langit cerah, pesta warna stasiun senja pasti dimulai. Kita bisa melihat jingga yang merona penuh pesona di langit barat. Sesekali, kalau kita beruntung, kita pun bisa menyaksikan sekawanan burung terbang pulang ke sarang. Sayang, hari ini, awan kelabu sedari fajar memeluk langit, mengukung sendu bumi, dan menyembunyikan sinar mentari. Tirta langit pun terus merintik lembut. Tidak deras. Tidak membawa petir nan gelegarnya menciutkan nyali. Butir-butir air kecil itu menghujam ke tanah dengan pelan, berirama dan menentramkan. Tak Masalah. Gerimis senja ini juga tak kalah indah.
Ayah memanggil dan mengajak kami, semua anak-anaknya, berkumpul di ruang tengah rumah kami nan besar. Ditemani dengan pisang goreng dan teh hangat, ayah pun mengajak kami membincangkan banyak hal. Seperti biasa, ayah akan memulai obrolan dengan bercerita banyak hal lalu meminta kami merespon atau bergantian bercerita hal lainnya. Kebersamaan sore itu pun berlangsung hangat dan akrab. Semua orang tersenyum. Semua orang bahagia.
"Ayah harus berbicara serius kepada kalian sore ini.", kata Ayah dengan nada bicara serius tiba-tiba meminta fokus kami.
"Nak, tugas ayah di rumah ini sudah selesai. Ayah harus pergi ke tempat yang baru. Dan seperti biasa, ayah yang baru akan datang menggantikan ke rumah ini."
Ruangan yang hangat ditingkahi canda tawa pun mendadak senyap demi mendengar ayah bicara demikian. Wajahku dipenuhi rasa kaget. Sebuah perasaan sesak tiba-tiba memenuhi dada. Kedua bola mataku pun rasanya begitu perih.
"Kapan ayah harus pergi?", seorang anak yang paling tua menyahut mewakili semua kata tanya yang ada di kepala kami, anak-anaknya.
"Lima hari lagi ayah harus pergi dari rumah ini."
"Cepat sekali ayah harus pergi meninggalkan rumah ini", gumamku lirih dengan hati mengembun.*
Dua tahun lalu ayah diutus datang untuk mengurus rumah ini. Tak hanya itu, ia juga diutus datang sebagai seorang ayah untuk kami, anak-anak yang tumbuh dengan berbagai kondisi. Ia adalah ayah ketiga yang datang sejak aku memilih hidup di rumah ini. Dan seperti dua ayah sebelumnya, dulu aku tak berminat untuk dekat ataupun banyak berbicara dengannya.
"Mungkin seperti yang lainnya, ia juga akan tidak peduli dengan ku yang hanya bertugas merawat taman di rumah ini. Ya, sama seperti sebelumnya, ia juga akan tidak sanggup mengelolaku yang katanya nakal dan banyak mau. "
Waktu pun melesat amat cepat. Potongan demi potongan waktu berlalu. Ayah yang kali ini ternyata berbeda. Meski selalu diremehkan akan mampu mengelolaku, ia ternyata berhasil membuktikan pada dunia kalau ia bisa. Ya, ayah berhasil mengelolaku dengan caranya. Persis seperti ia berhasil membuktikan pada semua orang kalau ia mampu membangun rumah kami yang dulu amat ringkih menjadi lebih kokoh dan indah.
Lihatlah rumah kami saat ini. Rumah yang besar ini sekarang jauh lebih kokoh. Ayah selalu meminta kami, anak-anaknya, untuk terus bahu membahu memperbaiki rumah ini. Material yang telah lapuk semua diganti. Cat yang telah usang dicat ulang dengan warna menawan. Perabotan yang tak rapi selalu diminta ditata sepenuh hati. Dan Ayah selalu senang duduk lama-lama di taman yang ku rawat. Ayah senang mendengarkanku bercerita menunjukkan bunga-bunga yang mulai mekar.
Ayah tak pernah keberatan kuajak diskusi tentang pupuk yang kupilih ataupun pestisida yang kuhindari. Memang tak selalu sependapat. Tak jarang kami pun berdebat kecil. Namun ayah selalu bijak bersikap. Hampir tak pernah nadanya meninggi kepadaku. Sabarnya selalu lebih besar daripada rasa kesalnya. Ayah juga selalu semangat mendengar rencanaku menanam bunga-bunga baru. Entah itu mawar, anggrek, lili, ataupun alamanda. Ayah tak pernah ragu-ragu memberikan izin untuk kemudian membantuku banyak hal agar bunga-bunga baru itu tumbuh subur di taman rumah ini.
"Bagaimana jika bunga baru itu gagal tumbuh yah?", tanyaku sesekali yang selalu direspon dengan senyuman
"Janganlah mau selalu jadi sempurna. Gagal itu bukan sebuah dosa. Gagal itu hanya sebuah keberhasilan yang tertunda. Jadi apabila nanti gagal di kemudian hari, tetaplah berdiri dengan kepala tegak.", katanya selalu penuh ketenangan.
Desember tahun lalu, hujan badai tiba-tiba datang menghantam rumah ini. Ayah dengan kuatnya berdiri tegak bagai pelindung setiap bagian dari rumah ini. Taman ini yang paling ringkih dan nyaris porak poranda. Namun, ayah penuhi janji nya untuk selalu ada dan support kami yang berjuang mempertahankan taman ini.Â
Hari demi hari, dengan sabar ayah membersamaiku merawat satu demi satu tanaman di taman ini. Sesekali ayah juga menemaniku berbelanja kebutuhan taman, membantuku memilih benih yang baik sampai membantuku bernegosiasi untuk memperoleh harga pupuk dan pestisida yang hemat. Dan taman ini pun berhasil bertahan dengan kokohnya. Ah coba lihat, bahkan bunga bunga baru berhasil tumbuh subur mewarnai taman ini. Kupu-kupu pun tiada henti datang dan hinggap untuk kemudian terbang menceritakan keindahan taman ini.
 "Dua tahun lalu ketika ayah datang, ayah sama dengan yang lain, seperti tidak akan berkesan, tetapi betapa ketika senja ini ayah pamit, ayah meninggalkan rasa kehilangan yang besar. Sakit sekali mendengar kata pamit ayah hari ini."** Â
Hari ini adalah hari kelima belas di bulan kedelapan tahun ini. Ditempatku, pagi baru akan beranjak siang. Matahari bergeser dari ufuk timur dengan tenang. Langit cerah membiru sebiru lazuardi yang menentramkan. Ayah datang untuk mengucap salam perpisahan di taman.
"Ayah pamit ya. Sampai bertemu kembali di lain waktu. Apapun yang terjadi, terus rawatlah taman rumah ini ya. Rawat bunga-bunga yang selama ini telah kamu tanam. Selama ini, salah satu hal yang membuat rumah ini dikenal orang-orang adalah karena bunga-bunga yang tekun kamu tanam di taman. Siangi gulma yang mengganggu, tanami lagi dengan berbagai bunga yang baru. Ya, tanami lagi dengan bunga-bunga baru yang punya warna kelopak dan mahkota nan indah. Biar kupu-kupu dan kumbang yang hinggap bercerita pada semua orang tentang taman ini yang semakin indah. Ayah di tempat yang baru juga akan selalu ingin mendengar taman ini semakin indah. Semakin mempesona."
"Ayah, apakah ayah yang baru juga akan sebaik dan sesabar ayah menghadapiku? Apakah ayah yang baru akan sekuat ayah melindungiku ketika hujan badai menghantam rumah ini?"Apakah ayah yang baru akan sesemangat ayah untuk menemaniku merawat taman ini? Apakah ayah yang baru akan seyakin ayah memperbolehkanku menanami bunga-bunga baru di taman ini? Apakah ayah yang baru mau mengucap bangga sambil menepuk bahuku sehingga semangatku tumbuh berkali lipat setelahnya?, tanyaku dalam hati seorang diri.
Tubuhku terpatung bisu. Ada banyak kalimat riuh mengalir bagai gerimis yang ingin kuucap, tetapi mulut rasanya kelu. Kedua mata ku yang hari-hari ini telah basah karena kata pamitnya kupaksa kering. Aku sungguh tak ingin menangis dihadapannya.
 "Ayah, sang bijak berkata bila seseorang dalam hidup kita pergi untuk lebih baik dan lebih bahagia, maka kita yg tinggal pun harus tetap baik dan bahagia. Sampai bertemu di lain waktu Ayah. Semoga Tuhan senantiasa menjaga Ayah dimanapun berada. Terima kasih telah buktikan pada semua orang bahwa Ayah sanggup mengelola anak nakal ini. Terima kasih telah memenuhi janji untuk selalu ada dan selalu support anak nakal ini. Taman ini akan baik-baik aja Ayah. Tetap baik. Semakin baik. Anak nakal ini tidak akan berhenti merawatnya, tak akan berhenti membuat ayahnya nan baik merasa bangga."***
Rumah yang sudah lama tidak ditengok,
13 Agustus 2023
Dari anak nakal untuk ayahnya yang akan pergi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H