Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perginya Seorang Ayah

13 Agustus 2023   18:48 Diperbarui: 13 Agustus 2023   19:08 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini adalah hari kesebelas di bulan kedelapan tahun ini. Ditempatku, hari telah beranjak sore. Sebentar lagi bila langit cerah, pesta warna stasiun senja pasti dimulai. Kita bisa melihat jingga yang merona penuh pesona di langit barat. Sesekali, kalau kita beruntung, kita pun bisa menyaksikan sekawanan burung terbang pulang ke sarang. Sayang, hari ini, awan kelabu sedari fajar memeluk langit, mengukung sendu bumi, dan menyembunyikan sinar mentari. Tirta langit pun terus merintik lembut. Tidak deras. Tidak membawa petir nan gelegarnya menciutkan nyali. Butir-butir air kecil itu menghujam ke tanah dengan pelan, berirama dan menentramkan. Tak Masalah. Gerimis senja ini juga tak kalah indah.

Ayah memanggil dan mengajak kami, semua anak-anaknya, berkumpul di ruang tengah rumah kami nan besar. Ditemani dengan pisang goreng dan teh hangat, ayah pun mengajak kami membincangkan banyak hal. Seperti biasa, ayah akan memulai obrolan dengan bercerita banyak hal lalu meminta kami merespon atau bergantian bercerita hal lainnya. Kebersamaan sore itu pun berlangsung hangat dan akrab. Semua orang tersenyum. Semua orang bahagia.

"Ayah harus berbicara serius kepada kalian sore ini.", kata Ayah dengan nada bicara serius tiba-tiba meminta fokus kami.

"Nak, tugas ayah di rumah ini sudah selesai. Ayah harus pergi ke tempat yang baru. Dan seperti biasa, ayah yang baru akan datang menggantikan ke rumah ini."

Ruangan yang hangat ditingkahi canda tawa pun mendadak senyap demi mendengar ayah bicara demikian. Wajahku dipenuhi rasa kaget. Sebuah perasaan sesak tiba-tiba memenuhi dada. Kedua bola mataku pun rasanya begitu perih.

"Kapan ayah harus pergi?", seorang anak yang paling tua menyahut mewakili semua kata tanya yang ada di kepala kami, anak-anaknya.

"Lima hari lagi ayah harus pergi dari rumah ini."

"Cepat sekali ayah harus pergi meninggalkan rumah ini", gumamku lirih dengan hati mengembun.*

Dua tahun lalu ayah diutus datang untuk mengurus rumah ini. Tak hanya itu, ia juga diutus datang sebagai seorang ayah untuk kami, anak-anak yang tumbuh dengan berbagai kondisi. Ia adalah ayah ketiga yang datang sejak aku memilih hidup di rumah ini. Dan seperti dua ayah sebelumnya, dulu aku tak berminat untuk dekat ataupun banyak berbicara dengannya.

"Mungkin seperti yang lainnya, ia juga akan tidak peduli dengan ku yang hanya bertugas merawat taman di rumah ini. Ya, sama seperti sebelumnya, ia juga akan tidak sanggup mengelolaku yang katanya nakal dan banyak mau. "

Waktu pun melesat amat cepat. Potongan demi potongan waktu berlalu. Ayah yang kali ini ternyata berbeda. Meski selalu diremehkan akan mampu mengelolaku, ia ternyata berhasil membuktikan pada dunia kalau ia bisa. Ya, ayah berhasil mengelolaku dengan caranya. Persis seperti ia berhasil membuktikan pada semua orang kalau ia mampu membangun rumah kami yang dulu amat ringkih menjadi lebih kokoh dan indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun