Aku berdiri mematung di tempat biasa, mengusap pelan benteng berdinding kaca ini. Lihatlah, benteng ini menjulang begitu tinggi. Sangat tinggi. Dinding benteng ini juga demikian tebal. Sangat tebal. Saking tinggi dan tebalnya aku tak pernah mampu untuk menaklukannya. Aku tak pernah kuasa menemukan celah untuk dapat memasukinya
Aku berdiri menatap baik-baik benteng berdinding kaca ini seperti biasanya. Lihatlah, betapa dinding benteng  ini tampak jernih memamerkan isi di balik kekokohannya. Dari tempatku berdiri disini, aku dapat melihat dengan jelas kuning kelopak bunga alamanda lebat bermekaran di antara daunnya yang hijau segar.  Di sekitarnya tumbuh dengan indah lili, mawar, juga anggrek beraneka warna. Indah. Sangat indah.
Aku masih berdiri di tempat biasa. Mengusap pelan dinding benteng ini. Betapa selama ini aku selalu berusaha untuk menaklukkannya. Betapa dalam setiap doa selama ini aku berharap dapat menemukan pintunya. Ah, topeng baik-baik saja yang hari hari ini kupasang erat-erat pun akhirnya terlepas begitu saja. Mata yang selama ini kupaksa kering akhirnya basah juga. Dalam senyap di balik benteng berdinding kaca itu, aku akhirnya tergugu dalam tangis kehilangan.
 "Aku harus pergi bersama pemilikku, seorang gadis manis bergaun putih bersih. Kami akan tinggal sama-sama di sebuah rumah yang juga banyak tumbuh bunga."
Kata pamitnya pada kali terakhir kami bicara berbatas benteng berdinding kaca itu kembali menyeruak memenuhi ingatanku. Aku masih ingat dengan baik setiap potong kalimatnya saat itu. Aku masih ingat dengan baik juga ekspresi kebahagiaannya. Ya, ia sangat bahagia akan bersama pemiliknya.
"Betapa selama ini aku sangat ingin menjadi gadis yang beruntung itu, dapat menembus benteng berdinding kaca ini dan memilikimu, kupu-kupu istimewaku."*
Kupu-kupu itu sungguh indah. Kedua sayapnya bewarna biru langit tenang nan gagah dengan warna hitam tegas di setiap batas tepinya. Di atas warna hitam tegas itu, berderet titik kuning jingga selembut warna langit senja. Â Aku jatuh hati sejak pertama kali melihatnya di balik benteng kaca ini 6 tahun lalu.
Kupu-kupu itu sungguh indah. Aku awalnya selalu takut-takut untuk melihatnya lebih dekat. Namun, betapa ia hangat bersahabat. Setiap kali aku datang, ia terbang rendah menyapaku. Ya, ia yang berada di dalam benteng kaca itu terbang rendah mensejajari tinggi ku. Ia membiarkanku melihat dengan jelas keindahan sayapnya meski harus berbatas benteng kaca yang amat tinggi dan kokoh ini.
Kupu-kupu itu selalu menyapaku lebih dulu setiap kali aku datang di balik dinding kaca ini. Ia ringan bertanya tentang hariku, tentang perjalananku, juga tentang banyak hal yang sedang kuperjuangkan di luar sana. Aku selalu dibuat terkesan dengan keindahan sayapnya, dengan keelokan cara terbangnya.
Kupu-kupu yang selalu baik itu membuatku sering datang ke balik benteng berdinding kaca ini. Aku berdiri lama-lama di tempat ini, menunggunya datang terbang rendah mensejajari kedua mataku. Tak pernah lama. Ya, ia tak pernah membuatku menunggu lama. Segera ia selalu datang ketika aku berdiri disini, terbang dengan elok kedua sayapnya.
Ia selalu mau mendengarku, meski berkali aku datang dengan cerita yang sama. Aku memang selalu bertemu ekspresi datarnya. Namun, betapa berbicara dengannya selalu membuatku menjadi baik-baik saja. Ya, ia memang tak pandai menyusun kata-kata, tetapi betapa ajaib setiap kalimat pendeknya. Kalimat-kalimatnya selalu punya tenaga menghadirkan harap di tengah gelap. Berbicara dengannya pun membuatku belajar dan tumbuh. Ya, tumbuh lebih berani dan kuat. Tumbuh untuk mencipta asa dan karya dengan semangat. Tumbuh lebih hebat menebar manfaat.