Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Tidur Harus Membayar Mahal

10 November 2020   19:16 Diperbarui: 10 November 2020   19:32 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari itu giliran aku yang harus menemani Ibu setelah sekian bulan lamanya selalu menjadi tugas Ayah ataupun Adik. Ya, menemani Ibu mengantre, bertemu psikiater, lalu mengambil obat. Sama seperti sebelum-sebelumnya, proses menemani Ibu untuk urusan ini tidak pernah sebentar. Selalu memakan cukup waktu. Dan seperti biasanya pula, aku memilih menjadi pengamat selama proses menunggu itu. Ya, mengamati orang-orang dan lingkungan di sekitarku.

Rumah sakit tempatku menunggu hari itu bukanlah rumah sakit biasa. Ini adalah rumah sakit jiwa. Dulu, awalnya aku juga apriori terhadap rumah sakit itu. Aku bahkan sempat marah saat dokter internis yang merawat Ibu meminta Ibu bertemu psikiater dan menjalani terapi di rumah sakit ini.

           "Ibuku tidak gila!", begitu ucapku selalu.

           "Ibuku masih sehat akalnya!"

Namun, hari-hari berat itu telah mengubah pemahamanku tentang rumah sakit ini. Ya, hari-hari yang harus kuhabiskan untuk menemani Ibu kemari telah menggeser pola pikirku. Rumah sakit jiwa ini bukan untuk mereka saja yang gila atau hilang akal sehatnya. Bukan. Psikiater atau dokter kejiwaan bukan hanya tempat mereka yang gila. Bukan. Mereka yang tidak bisa tidur setiap malam, mereka yang tidak pernah bisa tenang, mereka yang punya ketakutan berlebihan pun harus bertemu psikiater-psikiater itu.

"Mbak, Ibu tidak gila. Ibu hanya punya ketakutan dan kegelisahan di atas kewajaran. Ibu hanya sedikit membutuhkan terapi obat untuk bisa tidur setiap malamnya. Keluarga harus penuh suport untuk Ibu ya.", kata psikiater Ibu saat kali pertama  bertemu denganku.

Dan hari ini, aku memandang rumah sakit ini tak ubahnya rumah sakit lain di kota ini. Aku tidak merasa kesal ataupun malu saat harus menemani Ibu kemari. Dan, bukankah Tuhan selalu memberikan maksud baik berupa pelajaran atau pengalaman di setiap takdir manusia? Ya. Hari itu, dengan menjadi pengamat, aku memperoleh banyak pelajaran berharga dari orang-orang yang datang dan pergi di rumah sakit ini.

Menemani Ibu bertemu psikiaternya, menemani Ibu menunggu obatnya, mendengarkan percakapan pasien atau keluarga pasien lainnya, hatiku sungguh menjadi sesak karena rasa salah. Ibu dan juga sebagian pasien-pasien itu harus bolak-balik ke rumah sakit ini untuk sekadar tidur lelap. 

Ah, seorang Ibu paruh baya itu bahkan mengaku selama 10 tahun ini harus minum banyak obat hanya demi bisa tidur lelap. Pun seorang Bapak yang terduduk lemas setelah harus membayar mahal obat agar Ibunya bisa tidur lelap. Ya, hanya demi bisa tidur lelap. Selama ini, seringkali kita merasa bahwa tidur hanya rutinitas biasa. 

Ya, tidur bukan suatu hal yang istimewa. Namun, hari itu hatiku merasa demikian keliru. Tidur yang kita anggap biasa itu kadangkala menjadi suatu hal yang sedang diperjuangkan mati-matian oleh sebagian orang di luar sana. Hari itu, demi melihat pasien-pasien itu, aku menjadi mengerti bahwa rasa damai, rasa aman, kemampuan mengendalikan takut yang saat ini kita miliki boleh jadi menjadi barang mahal untuk orang lain. Betapa ada banyak nikmat-nikmat yang seringkali alfa kita syukuri sesungguhnya seringkali sedang diperjuangkan mati-matian oleh orang lain di luar sana.

Hari itu, aku malu karena masih suka mengeluh. Hari itu, aku malu karena masih suka menangis oleh rasa sesak oleh ujian hidup. Hari itu, aku malu karena masih suka merasa kurang. Dan sepotong nasihat indah dari Pak Guru ini pun kembali menghantam memori otakku :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun