Hal terakhir yang sangat berkesan bagi kami adalah momen pengajian kitab. acara ini merupakan puncak dari agenda selapanan GP Ansor di dusun Sarirejo. Model yang di terapkan adalah selayaknya kajian di pesantren, dimana sang kiai membacakan kitab dan para hadirin yang membawa kitab melakukan aktivitas maknai/ngabsahi (menulis makna di bawah tulisan isi kitab) yang mana, saat era modern sudah mulai masuk dalam seluruh elemen masyarakat, namun tradisi belajar klasik seperti ini tetap dipertahankan oleh saudara-saudara GP Ansor.
Faizha Dias (Humas dari UIN Wali Songo), mengungkapkan kekagumannya. Ia berujar, "baru pertamakali dalam hidup saya mengikuti pengajian yang di dalamnya juga ada kajian kitab karya ulama besar. Hal ini merupakan pengalaman yang pertama, tetapi sangat berkesan di hati. Selain itu, model kiai yang menjelaskan dengan sabar dan gamblang juga menjadi poin bagus dalam proses belajar di lingkungan masyarakat".
Kegiatan seperti selapanan ini, menurut kami harus tetap dilestarikan. Pola pengajaran yang jelas ilmunya, jelas pengajarnya, dan sahih kapasitas mengajarnya menjadi poin berharga di era modern yang semakin ke sini justru membawa dampak yang agak negatif. Saat beberapa orang hanya mengandalkan pemahaman agama yang mereka pelajari melalui Syaikh Google, bagi kami belajar seperti itu tidak cukup dan belum bisa disebut sebagai ahli agama. Karena persoalan yang paling mendasar adalah segi kualitas dan sumber yang digunakan Google, terkadang susah untuk bisa langsung dipercaya. Apalagi yang hanya belajar singkat-singkat dan menggunakan metode cocoklogi (asal mencocok-cocokan logika).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H