Mohon tunggu...
Surtini Hadi
Surtini Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - kebermanfaatan

Ibu Rumah Tangga, tinggal di Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

World No Tobacco Day: Kenapa Memusuhi Tembakau?

25 Mei 2015   21:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:36 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Merokok tembakau tidak membahayakan generasi terdahulu, seharusnya juga tidak generasi sekarang. Yang berbahaya itu adalah radikal bebasnya, dan radikal bebas ada di mana-mana.”( ProfesorDr. Sutiman Bambang Sumitro)

Sebagai referensi pembaca dalam rangka hari tanpa tembakau sedunia, 31 Mei 2015—sekiranya dua buku berikut dapat membantu kita ‘membaca’ isu tembakau secara berimbang dan menyeluruh. Buku pertama berjudul MUSLIHAT KAPITALIS GLOBAL, Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS, Okta Pinanjaya dan Waskito Giri S, Jakarta, 2012. Sedang buku yang kedua adalah NICOTINE WAR, PERANG NIKOTIN DAN PARA PEDAGANG OBAT, Penulis Wanda Hamilton, Penerjemah Sigit Djatmiko, Yogyakarta, 2010.

***

Isu anti tembakau yang diusung mengatasnamakan wacana kesehatan, menggiring masyarakat untuk mengamininya tanpa syarat. Tidak lain karena kesehatan adalah sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar dan sangat berharga bagi setiap orang.

Hanya saja konsep baik dan buruk, hitam dan putih untuk tembakau akhirnya diupayakan menjadi semata-mata sebagai problem atau isu kesehatan yang bersifat absolut dan menutup ruang perdebatan dan eksplorasi isu tembakau. Tanpa analisa atas dimensi ekonomi-politik, sosial dan budaya, secara sepihak misalnya, gerakan anti rokok menempatkan para perokok sedemikian rupa sebagai subyek yang nyaris tanpa nilai baik. Minimal, mereka dikesankan tengah berhadap-hadapan dengan kaum perempuan dan keluarga sebagai entitas subyek-korban yang merupakan anti tesis terbesar dari potensi bahaya rokok. (Okta Pinanjaya dan Waskito Giri, 2012)

DR.Hi.MS.Kaban, SE.M.Si dalam pengantar buku Muslihat Kapitalis Global, Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS, menulis bahwa meski disatu sisi seringkali dikatakan bahwa entitas tembakau mengandung senyawa karsinogen sebagai penyebab penyakit kangker, namun disisi lain tembakau juga disebut memiliki potensi kandungan protein yang justru sanggup mencegah berbagai penyakit, termasuk kanker.

MS. Kaban menguatkan dengan beberapa contoh, yaitu Dr.Arief B. Witarto, M.Eng, peneliti dari Pusat PenelitianBioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), baru-baru ini berhasil menggunakan tembakau sebagai alat untuk memproduksi protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF). Suatu hormon penting dalam menstimulasi produksi darah yang sanggup menstimulasi perbanyakan sel tunas (stem cell) untuk memulihkan jaringan fungsi tubuh yang sudah rusak (Republika, 24 juli 2008).

Dr.Arief, sebelumnya juga bekerja sama dengan peneliti Fraunhofer Institute for Environmental Chemistry and Ecotoxicology dari Jerman, dengan menggunakan tembakau transgenik mereka mampu memproduksi tiga protein utama,yaitu human serum albumin (HSA) untuk pengobatan sirosis hati dan luka bakar, human interferon-alfa (IFN-a2) sebagai antivirus yang banyak dipakai untuk pengobatan HIV/AIDS dan hepatitis, serta antibodi M12 untuk mengenali antigen MUC-1 yang banyak terdapat pada permukaan sel kanker. Sehingga seperti misalnya kanker payudara dan kanker hati dapat didiagnosis lebih akurat dan dibunuh secara tepat. (Tempo, 15 Maret 2005).

Metode merokok bahkan menjadi bagian terapi yang sangat penting oleh Dr. Gretha Zahar, seorang ilmuwan nuclear science yang mengelola klinik di beberapa kota dan Lembaga Peluruhan Radikal Bebas di Malang, Jawa Timur. Rokok yang dinamai Divine Klobot atau Divine Tingwe (apabila tembakau di-linting dewe, bahasa Jawa yang berarti dilinting sendiri) mengandung asam amino, diproses sedemikian rupa sehingga bersih dari radikal bebas, dan menghasilkan partikel yang berukuran jauh lebih kecil.

“ Dengan menggunakan cetakan nano pada filter Divine, densitas elektron meningkat, sehingga kandungan merkuri pada tembakau akan siap melepaskan elektron. Dan ketika merkuri kehilangan 1 elektron, ia bukan lagi merkuri. Ia merupakan partikel emas atau aurum, tepatnya artificial aurum. Saya jadi ingat sebuah artikel tentang partikel aurum, dalam ukuran nano, ia sudah lama dikenal sebagai nanomaterial yang efektif membunuh sel kanker tanpa merusak sel lainnya”, jelas Dr. Gretha.

Penjelasan tersebut diamini oleh mitra penelitian Dr.Gretha, Profesor Dr. Sutiman Bambang Sumitro, seorang mikrobiolog dari Universitas Brawijaya, Malang. “Merokok tembakau tidak membahayakan generasi terdahulu, seharusnya juga tidak generasi sekarang. Yang berbahaya itu adalah radikal bebasnya, dan radikal bebas ada di mana-mana.” (langit perempuan.com).

Di Amerika, persoalan resiko bahaya tembakau yang sering dikampanyekan gerakan anti rokok, mendapat kritikan keras dari beberapa kalangan. Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont dalam artikel bertajuk, “Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths” (Regulation, vol.21 N0.4, 1998) mengungkapkan bahwa kebenaran adalah korban pertama dalam perang melawan tembakau. Pernyataan 400.000 kematian prematur setiap tahun di Amerika akibat merokok merupakan kebohongan besar. Hal ini hanya merupakan mantra untuk menjustifikasi semua tindakan regulasi dan legislasi tembakau.

Beberapa penelitian dan kajian ilmiah yang dimuat dalam British Journal of Cancer (2002), seperti dikutip Gabriel Mahal dalam buku Nicotine War karya Wanda Hamilton,membuktikan tidak adanya hubungan antara merokok dengan resiko kanker payudara. Hasil studi lain yang dikenal dengan sebutan “Roll Royce of Studies” (Journal of critical Epidemiology 42, n0.8, 1989) menjelaskan tidak adanya hubungan antara merokok dengan sakit jantung.

Agenda DibalikHari Tanpa Tembakau Sedunia

Pada 1988, Resolusi WHA42.19 disahkan oleh Majelis Kesehatan Dunia, menyerukan dirayakannya Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap tanggal 31 Mei. Sejak saat itu WHO senantiasa mendukung hari Tanpa Tembakau Sedunia tiap tahunnya, mengaitkan tiap tahun dengan tema khusus terkait tembakau.

Pada 1998, WHO membentuk Inisiatif Bebas Tembakau (Tobacco Free Initiative/TFI), sebuah upaya untuk memusatkan perhatian dan upaya internasional kepada masalah kesehatan global tentang tembakau.(wikipedia)

Inisiatif ini berhasilkan meletakkan landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau dengan lahirnya Kerangka Pengendalian Tembakau/Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).Dan, langsung mendapat dukungan dana dari tiga korporasi farmasi besar, yakni Pharmacia&Upjohn, Novartis dan GlaxoWellcome.

Apa motif ketiga korporasi tersebut, Dr. Gro Harlem Brundtland, Direktur Jenderal WHO, menjawab dalam sebuah pidatonya,”They all manufacture treatment products againts tobacco dependence”-ketiga korporasi tersebut adalah manufaktur produk-produk Nicotine Replacement Treatment (NRT).

Maka tidak heran ketika dalam konvensi tersebut terdapat artikel khusus yang memberikan landasan hukum bagi kepentingan bisnis korporasi-korporasi farmasi sebagaimana tercantum dalam Pasal (Article) 14 dibawah judul “Demand Reduction measures concerning tobacco dependence and cessation” dan Pasal 22 yang merupakan rujukan dari Pasal 14.2 (d) Konvensi tersebut.

Dua bentuk obat-obat pengganti nikotin/NRT yakni transdermal patches dan chewing gums, dimasukkan dalam WHO Model Listof Essential Medicines, artinya kedua obat tersebut diakui secara resmi oleh WHO sebagai obat-obat esensial untuk dapat digunakan oleh negara-negara yang meratifikasi FCTC dalam mengimplementasikan ketentuan pasal 14 FCTC.

Dan kabar ‘baik’ nya, sebagai negara yang menjadi markas sekretariat WHO dan berperan besar dalam proses perumusan FCTC, Amerika hingga kini belum meratifikasi FCTC. Sementara gerakan kampanye anti tembakau disini, selalu mempersoalkan dan membesar-besarkan sikap Indonesia yang belum meratifikasi FCTC. (Okta Pinanjaya dan Waskito Giri S, 2012).

Disisi lain, penggunaan obat-obatan (NRT) tersebut bukanlah tanpa resiko. Di Washington, Amerika Serikat, seperti diberitakan oleh The New York Times (1/7/2009), otoritas Food and Drugs Administration (FDA) memberikan peringatan untuk hati-hati dan mewaspadai terhadap apa yang disebut sebagai tanda-tanda penyakit mental yang serius (signs of serious mental illness) yang menyebabkan tindakan bunuh diri diantara para pemakai obat-obat ini. (Wanda Hamilton, 2010)

Rezim Industri Kesehatan

Michel Foucault dalam analisisnya tentang kesejarahan masyarakat industri kapitalisme, mendapati bahwa kemunculan dan membesarnya industri kesehatan modern ternyata juga berperan determinan sebagai salah satu variabel penting dalam proses pembentukan pengetahuan dominan masyarakat modern. Disini Foucault menguraikan pergeseran dari dominasi agama pada masa kehidupan pra-modern ke dominasi medis dalam kehidupan modern sebagai munculnya”kekuasaan medis” atau “kekuasaan klinik”.

Ivan Illich, seperti halnya Foucault, menemukan suatu gejala terjadinya “imperialisme diagnostik” dalam masyarakat industri modern. Hal ini bukan saja menyebabkan terjadinya ketergantungan masyarakat modern terhadap rezim industri kesehatan sebagai dampak dominasi struktur industri kapitalistis, melainkan bermuara pada munculnya gejala epidemi “penyakit yang muncul dari dokter” (iatrogenesis), yang bersifat klinis, sosial maupun kultural.

Illich menganggap gejala ini terjadi karena adanya kelebihan produksi di industri kesehatan seperti halnya sektor-sektor industri lainyang telah mendorong upaya perluasan dan pendalaman pasar industri kesehatan untuk memperoleh keuntungan dari penyebaran ketakutan.

Dominasi pengetahuan yang diproduksi dan diproduksi ulang secara terus-menerus oleh rezim industri kesehatan menciptakan sebuah ancama berupa homogenisasi kesadaran. Jika terjadi, tentu bukan hanya soal sehat dan sakit, normal dan abnormal, ataupun baik dan buruk, akan tetapi seluruh atribut politik identitas kebangsaan dan bernegara akan dirumuskan oleh kepentingan industri kapitalisme yang tengah bergerak mendunia ini. (Okta Pinanjaya dan Waskito Giri S, 2012).

Demikian--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun