Polemik, bentuk karya sastra dan sastrawan pada periode sastra berikut ini:
a.Periode 1850-1933
b.Periode 1933-1942
c.Periode 1942-1945
d.Periode 1954-1961
e.Periode 1961-1971
f.Periode 1971-1998
g.Periode 1998-Sekarang
--------------------------------
A. Periode 1850-1933
Periode 1850-1933 dipacu dengan dasar munculnya teknologi baru dalam penyebarluasan gagasan, yaitu mesin cetak. Permasalahan teknologi ini sama sekali tidak diperhitungkan dalam periodesasi sejarah sastra Indonesia sebelumnya. Untuk melengkapi kekosongan tersebut, penulis mengusulkan agar teknologi juga diperhitungkan. Munculnya teknologi baru berdampak pada berbagai perubahan sosial di dalam masyarakat. Perkembangan kesusastraan Indonesia pada periode awal ditandai dengan produksi bacaan kaum pergerakan yang sering disebut oleh negara kolonial sebagai "bacaan liar".
Bentuk karya sastra pada periode ini banyak ditulis roman. Karya sastra pada periode ini bercirikan roman yang beralur lurus, gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise dan peribahasa-peribahasa, tetapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, banyak digresi, bercorak romantis dan didaktis. Roman-roman mempersoalkan adat terutama masalah kawin paksa, permaduan, pertentangan kaum tua yang mempertahankan adat dengan kaum muda yang menginginkan kemajuan sesuai paham kehidupan modern, berlatar daerah dan kehidupannya. Misalnya dalam karya Sastrawan Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abas St Pamuncak (Pertemuan), Nur Sutan Iskandar (Katak Hendak Jaadi Lembu, Karena Mentua, Salah Pilih, Hulubalang Raja), Abdul Muis (Salah Asuhan), Hamka (Tenggelamnya Kapal van der wijck), Panji Tisna (Sukreni Gadis Bali), Selasih (Kehilangan Mestika).
B. Periode 1933-1942
Bentuk karya sastra pada periode ini banyak ditulis adalah puisi, drama, cerpen, roman. Karya sastra pada periode ini bercirikan beraliran romantik, puisi jenis baru dan soneta. Puisi-puisi tersebut menggunakan kata nan indah, bahasa perbandingan, gaya sajaknya diafan dan polos, rima merupakan sarana kepuistisan. Prosa yang ditulis menggunakan watak bulat, teknik perwatakan tidak analisis langsung, alurnya erat karena tidak ada digresi, mempersoalkan kehidupan masyarakat kota seperti emansipasi, pemilihan pekerjaan, diwarnai idealisme dan cita-cita kengasaan serta bersifat didaktis. Misalnya dalm karya Amir Hamzah (Nyanyian Sunyi, Buah Rindu),Sutan Takdir Alisyahbana (Layar Terkembang dan Tebaran Mega), J.E. Tatenteng (Rindu Dendam), Arymn Pane (Belenggu), Sanusi Pane (Sandiyakalaning Majapahit dan Madah Kelana), Mohammad Yamin (Indonesia Tumpah Darahku).
C. Periode 1942-1945
 Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda dan sarat dengan politik Jepang. Untuk mempengaruhi rakyat Indonesia membantu Jepang dalam perang Asia Raya, pemerintah melalui Balai Pustaka (Keimen Bunka Shidosho) menerbitkan karya-karya baik novel, puisi, dan cerpenyang kebaikan dan keunggulan Jepang. Selain itu, Jepang menggunakan sandiwara sebagai media propaganda. Untuk melengkapi karya-karya proganda, Jepang mengadakan sayembara penulisan cerita baik cerpen maupun naskah sandiwara. Salah satu pemenang cerpen adalah Rosihan Anwar ("Radio Masyarakat") sedangkan pemenang sayembara, seperti F.A.Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), J.Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), dan A.M.Soekma Rahayoe (Banteng Bererong). Pengarang yang menerbitkan novel proganda lainnya adalah Nur Sutan Iskandar berjudul Cinta Tanah Air (1944) dan cerita pendek "Putri Pahlawan Indonesia". Karim Halim menerbitkan novel Palawija, ia juga pernah menyadur tonil karangan Henrik Ibsen berjudul de Kleine Eylof menjadi Djeritan Hidoep Baroe. Semasa Jepang ia menulis cerpen propanda, salah satu cerita pendeknyanya berjudul "Aroes Mengalir".
D. Periode 1945-1961
 Puisi, cerpen, novel, dan drama berkembang pesat dengan mengetengahkan masalah kemanusiaan umum atau humanisme universal, hak-hak asasi manusia (karena dampak perang), dengan gaya realitas bahkan sinis ironis, disamping mengekpresikan kehidupan batin/kejiwaan, dengan mengenakan filsafat ekstensialisme. Pada karya sastra puisi menggunakan puisi bebas, dengan gaya ekpresionisme, simbolik, realis, gaya sajaknya presmatis, dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, dengan bahasa kiasan seperti metafora, juga ironi dan sinisme. Sastrawan-sastrawan yang berkiprah dalam periode ini adalah Chairil Anwar (Deru Campur Debu, Kerikil Tajam yang Terempas dan yang Putus). Charil bersama Asrul Sani dan Rivai Apin menulis Tiga Menguak Takdir. Sastrawan lainnya ialah Idrus (Dari Ave Maria Jalan Lain ke Roma), Achdiat K. Miharja (Atheis), Sitor Situmorang (Surat Kertas Hijau dan Dalam Sajak), Pramudya Ananta Toer (Keluarga Gerilya, Perburuan, dan Mereka yang dilumpuhkan), Moctar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok, dan Si Jamal).
E. Periode 1961 -- 1971
Periode ini meneruskan gaya periode sebelumnya terutama struktur estetisnya, mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan, dengan berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebudayaan Indonesia sendiri, karena dampak partai-partai corak sastranya bermacam-macam, ada beride keislaman (Lesbumi,) Ide kenasionalisan (Lesbumi), ide rakyat (Lekra), dan ada yang bebas mengabdi kemanusiaan. Banyak ditulis cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Tidak muncul novel-novel besar. Sastrawan-sastrawan yang muncul pada periode ini W.S. Rendra (Blues untuk Bonie, Balada Orang-orang Tercinta), Toto Sudarto Bachtiar (Suara), Nugroho Noto Susanto (Hujan Kepagian dan Tiga Kota), Ramadhan K.H. (Priangan si Jelita), Trisnoyuwono (Lelaki dan Mesiu), Toha Mochtar (Pulang), B. Sularto (Dombadomba Revolusi), dan Subagyo Sastrowardoyo (Simphoni).
 F. Periode 1971 -- 1998
Periode selain maraknya karya-karya populer juga banyaknya bentuk eksperimentasi sastra dalam sastra. Dalam karya puisi memunculkan 4 jenis gaya puisi yaitu mantera, puisi imajisme, puisi lugu, dan puisi lirik. Masalah yang diangkat dalam puisi mempersoalkan masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, jurang kaya dan miskin, menggunakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat dalam balada. Prosanya umumnya menggambarkan kehidupan sehari-hari yang kental dengan warna daerah dan pedesaan. Tokoh-tokoh penting sastrawan periode ini adalah Umar Kayam (Priyayi, Sri Sumarah, Bawuk), Gunawan Mohamamd (Asramaradana), Taufiq Ismail (Tirani), Bur Rasuanto (Mereka Telah Bangkit), Sapardi Djoko Damono (Dukamu Abadi), Abdul Hadi WM (Meditasi), Sutardji Calzoum Bachri (O, Amuk, Kapak), Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem), Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering), J.B. Mangun Wijaya (Burung-burung Manyar), Budi Darma (Olenka), N.H. Dini (Pada Sebuah Kapal dan Dua Dunia).
G. Periode 1998 -- Sekarang
Periode ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial politik. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka. . Penulis dan karya periode ini antara lain, Ayu Utami (Saman dan Larung), Seno Gumira Ajidarma (Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Biola Tak Berdawai), Dewi Lestari (Supernova 1 : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova 2.1 : Akar, dan Supernova 2.2 : Petir), Raudal Tanjung Banua (Pulau Cinta di Peta Buta, Ziarah bagi yang Hidup, Parang Tak Berulu, dan Gugusan Mata Ibu), Habiburahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta, Di atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, dan Dalam Mihrab Cinta), Andrea Hirata (Laskah Pelangi, Sang Pemimpi, Maryamah Karpov, dan Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI