Mohon tunggu...
Suryani Amin
Suryani Amin Mohon Tunggu... -

Penyuka jalan jalan dan tulisan tentang perjalanan. Sosiolog, bekerja sebagai Konsultan untuk Adaptasi Perubahan Iklim di lembaga bantuan pembangunan Internasional di Jakarta. Menulis fiksi dan mendokumentasikan perjalanan adalah minatnya diluar pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sindroma Narsistik Republik Baliho

1 Juli 2017   16:37 Diperbarui: 1 Juli 2017   19:42 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pelaku bisnis  baliho  bisa jadi adalah pengusaha termakmur beberapa tahun belakangan. Dulu sekali, baliho cuma  populer sebagai media penyampai informasi terbatas. Isinya  kebanyakan woro-woro sebuah perhelatan.  Agar diketahui publik. Sejak era pemilihan langsung kepala daerah, baliho jadi pilihan alat kampanye calon.  Maka , bertebaranlah baliho-baliho memenuhi semua ruang  strategis di ranah publik. Ukuran nya beradu  panjang dan tinggi. 

Seperti anekdot tentang  warung   Padang dan pecel lele yang  selalu ada ditiap tikungan dan lapak kosong. Baliho  persis serupa itu, tidak ada  celah ruang kosong yang boleh terlewat. Jadilah nasi Padang, pecel lele dan baliho trio sekawan  yang setia   diperempatan dan  lahan manapun yang  menyisakan ruang. Bedanya, baliho  memiliki keunggulan  karena masih bisa memunggungi pohon, memantati tiang listrik atau apapun yang bisa jadi tumpuan.

Cerita baliho sudah terlalu  jamak. Anggap saja cerita  usang. Lama-kelamaan, karena dihujani baliho, akhirnya publik  terbiasa.  Keluhan, kritik menjadi basi dan klise.   Tapi ternyata demam baliho  belum berlalu. Semakin  kronis malah. Untuk baliho bergambar calon kepala daerah dengan janji kampanyenya, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Agar dikenal pemilih, itu cara yang mereka pilih. Memampangkang hasil   cetak foto sebesar-besarnya diatas baliho.  

Biar pemilih familiar dengan  raut wajah, postur tubuh, kumis, tai lalat, peci. Mungkin sampai codet, jerawat batu, lesung pipi  atau apapun yang  bisa jadi penanda. Para pengguna teknik ini penganut teori komunikasi klasik  bahwa  cara untuk mempengaruhi penerima pesan adalah dengan menyuntikkan pesan diatas baliho.  Nah  yang saat ini memuncak, demam memasang baliho dengan foto  menular hingga perkara  diluar pemilihan kepala daerah.

Indonesia indah – pendapat yang tidak terbantahkan. Tapi itu  jauh sebelum foto pejabat  diatas baliho  memenuhi  ruang-ruang strategis di jalan umum. Parahnya, terjadi hampir merata se Indonesia Raya. Bukan hanya baliho yang sifatnya temporer. Bahkan sampai ke ruang pajang promosi berbayar  ataupun milik pemerintah yang cuma-cuma. Kerap bersembunyi dibalik Iklan Layanan Masyarakat.  Isinya  pesan, himbauan dari si  pejabat A atau si pejabat B atau kepala daerah X atau kepala daerah Y. Memang bukan  memuat pesan kampanye seperti “Bapak Rakyat Sejati, “Pilihan Wong Cilik” atau “Santun, Cerdas, Amanah”. 

Pesan semacam itu hanya lazim di masa kampanye.  Tipe pesan yang banyak beredar dengan foto pejabat . Tipikal yang kedua biasanya dimulai dengan kalimat  seperti “ dengan semangat …. , atau   “mari sukseskan …..” . Atau gerakan sosial  yang didorong oleh pejabat semacam “praktekkan perilaku hidup bersih dan sehat ” , “Wujudkan Kota Beriman” atau “Makan dengan tangan kanan” . Di masa Ramadhan dan hari raya, foto  baliho marak dengan seruan religius , himbauan dan ucapan  selamat berhari raya.  

Sindroma narsis ternyata bukan cuma milik kaum muda, massa alay dan cabe-cabean. Bukan  pula hanya di media sosial berbasis internet. Sindroma narsistik menyebar  lebih laju dari virus. Hingga  mengenai  pejabat  melalui baliho dengan foto yang ukurannya lebih  raksasa  dari kulkas dua pintu. Sering juga bersama pasangan.  Jikapun bukan  perilaku narsis, mungkin ada motif lain agar dikenal misalnya. Demi popularitas, atau  sebagai  investasi awal jika hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Padahal,  jika esensinya adalah pada pesan yang hendak disampaikan, lalu dimana signifikansi dan rasionalisasi meletakkan gambar diri bersama pasangan.

Setampan dan seanggun apapun foto diatas pesan,   tidak akan bermakna banyak bagi mereka yang lalu-lalang.     Pohon,  taman, rerumputan  saat ini berhias baliho  dengan foto. Kabel listrik yang  sudah kusut dan  saling bersilang, sekarang bersaing dengan pesan berfoto pejabat.   Jadi polusi visual yang  tidak nyaman dimata. Republik ini sungguh cantik. Tapi sekali lagi, itu jauh sebelum pejabat merasa harus memajang fotonya bersama pasangan ditepi jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun