Ini cerita sederhana. Tentang manusia dan kemanusiaan. Pada masa dimana colokan listrik dan power bank naik derajat menjadi kebutuhan primer. Disamakan kelasnya dengan kebutuhan makan minum. Ditulis untuk menghormati sahabat saya Andi Farid Baso Rachim – camat Wara di Kota Palopo. Kota kecil nun jauh di Utara Makassar. Yang bahkan namanya mungkin luput dari pengetahuan umum kita. Tidak untuk membuatnya membusung dada. Tapi untuk mengingatkan semua, termasuk saya agar tidak lalai. Juga jadi lonceng pengingat untuk tidak berhenti mengucap syukur.
[caption caption="Ibu Puasa didalam gubuknya"][/caption]Adalah Ibu tua renta berusia lebih dari 60 tahun cerita ini berporos. Namanya Ibu Puasa. Tubuhnya kurus dan ringkih dimakan usia. Tinggal sebatang kara di gubuk reyot yang lebih menyerupai kandang binatang. Bilik kecil tanpa sekat berdinding rumbia bercampur seng dan bambu bekas. Alas pijaknya tanah. Becek saat hujan. Gubuk kecil hanya berisi kain rombeng untuk sekat dan alas tidur. Sisanya, ruang yang difungsikan sebagai dapur. Berisi peralatan masak tua penuh jelaga dan peralatan makan seadanya. Tungku tanah menyisakan abu dari sisa pembakaran kayu.
[caption caption="kondisi dalam gubuk"]
[caption caption="menganyam atap rumbia"]
[caption caption="peralatan memasak"]
[caption caption="ditengah proses renovasi"]
Agar turut mendermakan sebagian rezekinya. Paralel dengan itu, inisiatif yang sama bergulir di kalangan aparat Kelurahan dan Kecamatan. Bantuan finansial dan tenaga pertukangan sedikit demi sedikit terkumpul. Empat puluh persen dari kebutuhan renovasi diperoleh dari sumbangan individu. Mereka terutama adalah jaringan alumni SMP Pak Camat. Kontak-kontak pribadi juga dijalin untuk membantu menjangkau angka kebutuhan.
Perangkat komunikasi memang pedang bermata dua. Penggunanya lah yang mengendalikan arah pemanfaatannya. Diantara deru kehidupan urban, semakin marak manusia-manusia modern yang menghabiskan banyak waktunya menatap telepon pintar dalam genggamannya. Hubungan sosial dijalin dengan lewat aplikasi yang dibenamkan dalam gawai.
Meskipun kedekatan semacam ini dianggap semu, keyakinan tentang rasa kemanusiaan yang memudar tidak terbukti. Setidaknya dalam kasus ini. Mungkin karena pada akarnya berbagi adalah hakekat manusia. Dari sini harapan untuk memanusiakan manusia bisa terus dipelihara. Toh tak ada yang mampu membendung kemajuan teknologi.
Malam ini dan malam-malam setelahnya, Ibu Puasa pasti bisa tidur lebih nyenyak dirumah barunya. Rumah yang melindungi tubuh tuanya dari hujan dan panas. Rumah yang layak saja, pasti tidak menyelesaikan seluruh masalah Ibu Puasa. Namun, sungguh langkah besar untuk memulai langkah-langkah lain.
Seperti pesan sahabat saya sang Camat saat meminta saya menulis “saya bukan pahlawan”. Saya meng Amin-i pernyataannya. Saya percaya ia tulus sosok mulia dibelakangnya adalah manusia-manusia modern bergawai di atas. Hikmah yang saya suka adalah betapa sahabat saya semakin mencintai pekerjaanya. Ia menjadi abdi sesungguhnya bagi warganya.
Dalam percakapan-percakapan yang mendahului percakapan terakhir ini, kami masih saling melempar opini tentang suka dan tidak suka atas pekerjaan masing-masing. Hari ini ia menjumpai kebahagiaan dalam amanah jabatannya. Membuka jalan pahala bagi orang banyak dan menebar senyum dari mereka yang papa. (one’)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H