Meliputi seluruh fenomena semesta yang terus berjalan, bukan karena tak lelah tapi begitulah semesta bekerja. Keterasingan pada fenomena kehidupan yang sering digambarkan adanya keteringgalan. Berbicara ketertinggalan berarti ada hal yang terus melaju pesat.Â
Di sini kita bertanya, apa yang terus melaju? Dan siapa yang melaju? Kenapa musti tertinggal? Atau pengen ditinggal? Pertanyaan seperti kalau dipertanyakan terus kayaknya takan cukup tinta pada coretan ini.
Penulis lahir di daerah yang waktu itu masuk kategori daerah tertinggal, meskipun saat ini daerah itu sudah tidak lagi tertinggal. Tapi yang dirasakan terasa tak ada perbedaaan, terlihat pada beberapa akses yang masih sulit dirasakan. Akses untuk sehat dan akses untuk belajar, menurut penulis itu akses yang utama.Â
Bagaimana bisa aku katakan kalau daerah itu tidak lagi tertinggal, sekiranya pada dua akses itu aja masih sulit. Mungkin ada kategori lain yang lebih baik di atas daerah tertinggal, meskipun tak ada perbedaan yang kini di rasakan.
Pusat Ibu Kota Negara tidak begitu jauh untuk ditempuh, karena daerah itu punya akses kereta yang menghubungkan daerah dengan jantung ibu kota. Tak butuh waktu sampai pada lima jam untuk sampai ke Ibu Kota. Yah, kalau dari kota ke kota. Pada kota daerah itu juga terdapat sebuah museum yang belum lama ini, namanya museum sebagai penyimpanan memori pada masa lalu.Â
Museum itu ada di jantung ibu kota daerah itu, samping Alun-alun dengan gedung-gedung para pejabata daerah bekerja. Museum yang menggambarkan simbol dari anti kolonialisme, semua kalangan bangga dengan simbol itu. kebanggaan itu lahir, apa karena ada kolonialisme yang terjadi sampai saat ini? Kolonialisme merupakan penjajahan ketika Hak Asasi Manusia hanya terbatas pada kelompok tertentu.
Setiap perjalanan selalu membawa kita kepada kekaguman atau kebencian, kagum itu lahir ketika melihat ada keindahan yang teratur dan tertata dengan rapih. Sebaliknya kebencian itu hadir pada ketidakteraturan atau semraut laksana tidak terlihat kalau semuanya bekerja sesuai dengan tupoksinya.Â
Begitupun ketika penulis melakukan perjalanan, penulis melihat ada kesemrautan atas ketidak tertataan apa yang seharusnya ditata. Jalanan yang terjal itu penulis mengira bahwa tak ada kehidupan di daerah itu. langkah tak dihentikan sampai pada akhirnya kehidupan itu terlihat.Â
Kegiatan masyarakat untuk melanjutkan kehidupan terlihat begitu berjalan, berjalan karena ada bantuan dari alam. Dimungkinkan jalanan terjal itu membuat perangkat kesehatan itu merasa enggan untuk kesana, asumsi itu lahir ketika ada orang sakit yang memerlukan penanganan gawat darurat harus ditandu dan jalan kaki.
Terpikir, bagaimana jadinya ketika ada ibu-ibu yang mau melahirkan. Bagaimana nasib anak mungil sebagai generasi masa depan itu? Â ternyata, tandu itu pernah juga terjadi pada ibu-ibu yang mau melahirkan. Sebagai bangsa yang hidup dalam naungan sebuah ikrar dari negara "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Ternyata itu sangat sulit ketika kita melihat kondisi yang demikian terjadi pada tandu tersebut.
Dipinggiran jalan sangat mudah kita melihat spanduk bertuliskan "perubahan", "pembangunan", "untuk rakyat", "lanjutkan pembangunan" dan beragam kata mutiara lainnya. Kata-kata mutiara itu sangatlah indah, indah sebagai kata-kata bukan indah sebagai nyata.Â
Begitu sulit untuk percaya dengan kata-kata mutiara itu, ketika kita melihat dunia nyata tak seindah dengan dunia kata. Pembangunan kalau tidak terbatas pada kata fenomena tandu itu tidak akan terlihat. Begitupun dengan kata untuk rakyat seandainya itu bukan hanya kata, fenomena luput pada pemerhatian itu tidak akan ada. Begitupun dengan kata-kata indah lainnya.
Perubahan itu seharusnya terjadi, tapi perubahan juga ada yang memiliki sifat evolusi dan juga revolusi. Perubahan ada yang membutuhkan waktu cepat ada juga yang begitu sangat lambat perubahan itu terjadi. Perubahan menuju kemajuan itu membutuhkan ketulusan dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Daerah yang kaya akan sumber daya alamnya, sangat disayangkan ketika pemanfaatan itu tidak menghasilkan kepada perubahan sosial dan pendapatan masyarakat banyak. Daerah yang penulis kunjungi merupakan daerah yang kaya akan sumber alamnya, masyarakat setempat memanfaatkan potensi itu untuk keperluan hidupnya.Â
Seandainya, pihak berwajib memiliki cita-cita seperti tertuang pada kata-kata mutiara di dalam spanduk itu. sudah seharusnya kehadiran pihak berwajib ikut mengembangkan potensi bukan malah memutus mata rantai makanan.
Pembangunan yang memanusiakan manusia itu harus jadi utama, sebagai daerah yang memiliki cita-cita sebagai pengembang dalam pariwisata sudah sewajarnya merawat atas segala potensi itu yang menjadikan peningkatan kesejahteraan.Â
Pembangunan yang seperti itulah yang menjadi cita-cita bersama. Bukan malah membangun yang hanya menguntungkan segelintir kelompok saja. Bangunlah pembangunan itu yang memberikan efek positif untuk masyarakat. Jalan terjal yang terhampar luas itu harus menjadi jalan harapan bagi masyarakat bukan jalan yang menakutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H